Pentingnya Dialog yang Kondusif (Tanggapan Solutif tentang Persoalan Guru Lapor Murid, Orangtua Murid Lapor Guru)




Akhir-akhir ini kita mendengar berita cukup heboh dalam ranah pendidikan yaitu konflik internal antara guru dan siswa (orangtua) yang  berbuntut pada tindakan hukum. Misalnya kasus guru yang mencubit siswa di Sidoarjo (Jawa Timur) dan Bantaeng (Sulawesi Selatan) dan siswa yang mencoret-coret tembok di Sleman, Yogyakarta. Fenomena ini menyita beragam tanggapan pro dan kontra dari berbagai pihak. Setiap orang atau kelompok berusaha memberikan tanggapan sesuai dengan kapasitas dan sudut padang masing-masing. Saling menjatuhkan, memfitnah, menyalahkan satu sama lain akhirnya membuat relasi jadi tidak karuan. Setiap oknum mencari pembenarannya masing-masing. Sebenarnya masalah cuma sepele tetapi karena penanganannya tidak cerdas, bermotif ketidakpuasan menyebabkan nuansa saling mengkambinghitamkan sukar diredam. Apalagi setiap orang berusaha menempatkan diri pada posisi yang paling benar tanpa kompromi. Apa memang harus demikian?
Terkait dengan masalah ini  mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan (Jumat, 10/06/16) mengatakan bahwa sebenarnya orang tua dapat melaporkan tindakan guru kepada kepala sekolah atau dinas pendidikan. "Siswa tak perlu menuntut secara hukum," ujarnya. Sebabnya, kata Anies, hal tersebut masih dalam ranah masalah pendidikan. Karena itu, menurut Anies, kejadian pencubitan masih bisa diselesaikan dengan mekanisme pendidikan. "Ini masih bagian dari proses belajar," ucap Anies. Menurut dia, bukan hanya guru yang dilaporkan ke polisi, tapi juga ada guru yang melaporkan murid ke polisi. Di Sleman, Anies bercerita, ada guru yang melaporkan siswanya karena membuat graffiti atau coret-coretan di dinding. "Tidak perlu dua-duanya terjadi. Ini tidak sehat," tuturnya.
Keprihatinan atas setiap tindakan ini (lapor-melapor) menunjukkan semakin lunturnya budaya dialog dalam lembaga pendidikan. Jika masalah internal ini diselesaikan dengan dialog yang kondusif antara orang tua siswa dan guru maka permasalahan ini tidak semakin rumit penyelesaiannya. Apalagi orangtua, siswa dan guru merupakan bagian dari (keluarga) sekolah yang saling berhubungan satu sama lain. Penyelesaian masalahnya akan lebih baik tanpa saling memojokan dengan rentetan waktu yang lama. Untuk itu penting sekali memberdayakan budaya dialog di lingkungan sekolah. Jika budaya dialog ini diberdayakan secara baik maka jurang kedengkian, rasa tidak saling suka, saling mengkambinghitamkan dapat dipersempit atau diminimalisir.  Dengan demikian diantara mereka akan terpupuk rasa saling menghargai, mempercayai hak dan kewajiban setiap mereka untuk membangun sekolah mereka yang lebih baik.
Karena itu, membangun kebiasaan menyelesaikan setiap permasalahan melalui dialog menjadi kebutuhan yang sangat mendasar. Sekolah harus  menjadi salah satu ruang yang dapat dioptimalkan untuk melatih pembiasaan dialog yang konstruktif. Pembiasaan dialog bukan perkara mudah. Tapi, bukan juga hal mustahil yang dapat terus-menerus diupayakan. Sekolah adalah medium yang paling tepat untuk memupuk kebiasaan dan keberanian melakukan dialog. Sudah seharusnya sekolah menjadi tempat di mana dialog diutamakan, nilai-nilai sportivitas dikedepankan, dan toleransi menjadi kunci. Dialog menjadi penting agar penyelesaian setiap permasalahan tak perlu menggunakan kekerasan (baik fisik maupun verbal). Maraknya penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan permasalahan akhir-akhir ini merupakan tanda bahwa kita belum terbiasa menyelesaikan permasalahan dengan dialog. Kegagapan berdialog dengan santun harus segera dicarikan solusinya. Sekolah memegang peranan penting dalam pembiasaan dialog. Ruang dialog di sekolah harus dibangun dan dirawat secara kondusif. (EL)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendidikan Karakter: Bagaimanakah Peran Praksis Sekolah?

REKOLEKSI ala GEMADORA Kupang (Sebuah Catatan Kisah)

MADING SEKOLAH: Wadah Praktis dan Kreatif untuk Mengasah Kemampuan Menulis