REKOLEKSI ala GEMADORA Kupang (Sebuah Catatan Kisah)




Hari itu Minggu. Tanggal 22 November 2020 tepatnya.  Suasana pagi di kos bercat kuning pudar itu tidak seperti biasanya. Banyak orang sudah berkumpul. Bukan golongan orangtua. Bukan pula golongan anak belia. Ini golongan muda-mudi. Golongan orang-orang muda. Jumlahnya lumayan banyak. Kurang lebih 30-an orang. Cukup ramai. Itupun belum semuanya hadir dengan alasannya masing-masing. Ada yang masih berhalangan karena sibuk dengan urusan kampus. Ada pula yang masih stay di kampung halaman akibat pademi Covid-19. Maka yang berkumpul hanya sebatas itu. Mereka berkumpul pun ada maksud. Bukan pesta. Bukan pula diskusi. Tetapi kali ini mereka berkumpul dengan tujuan agak beda. Rekoleksi. Rekoleksi organisasi. Ya, organisasi kemahasiswaan yang masih berumur belia. GEMADORA Kupang namanya. Gerakan Mahasiswa Adonara Barat panjangnya.


Konsep dan Kondisi

Rekoleksi? Ada yang kaget. Mungkin konsepnya dibuat mendadak. Bahkan hal baru bagi organisasi yang belum lama ini merekrut 21 anggota baru. Iya benar ini adalah rekoleksi perdana sepanjang organisasi ini eksis. Sehingga terlihat agak asing. Tetapi mereka terima ini dengan asyik karena ada bumbu-bumbu refresingnya. Maka pilihan tempatpun harus mendukung suasana ini, Rekoleksi-Refresing. Lokasi pantai pun menjadi pilihannya. 

Tetapi bukan Pantai Warnah, Pantai Lasiana, Pantai Batu Nona pantai-pantai yang cukup eksostik menampakan keindahannya di bibir pantai Kota Kupang. Mereka memilih Pantai Tablolong. Sebuah lokasi rekreasi pantai yang cukup familiar di pulau Timor. Jaraknya kurang lebih 37 KM dari Kota Kupang. Cukup melelahkan jika ditempuh. Namun semua rasa lelah dan capek itu dapat terbayar tuntas ketika sudah melihat setiap sudut-sudut view pantai yang ditawarkan di pesisir lokasi tersebut. Sangat memanjakan mata. Tapi itukan tujuan tambahan. Yang pertama adalah rekoleksi dan evaluasi organisasi.

Pagi mulai beranjak. Di ufuk timur, mentari perlahan demi perlahan menampakan raganya dengan perkasanya. Siangpun mulai menjemput hari beriringan dengan jam yang turut berganti dengan cepatnya. Mereka yang berkumpul terlihat perlahan-lahan mulai sedikit sibuk. Bahkan ada yang mulai tergesa-gesa. Sepertinya waktu kegiatan yang direncanakan mulai dikangkangi. Jam karet istilah trend-nya. 

Ya itulah. Kondisi seperti ini kayaknya bukan barang baru. Di mana-mana fenomena jam karet kadang sudah jadi budaya. Kebanyak orang sudah anggap biasa. Padahal itu kebiasaan yang salah. Time is money. Waktu adalah uang. Waktu itu bernilai. Maka tidak boleh membiarkan tiap kesempatan itu berjalan sia-sia. Tiap kesempatan itu berharga maka hargailah. Tiap kesempatan itu peluang maka manfaatkanlah. Jangan biarkan tiap peluang itu berlalu tanpa makna. Sedetikpun jangan apalagi sejam, sehari dan seterusnya. Isilah dengan sesuatu yang bernilai dengan kesungguhan dan komitmen.

 Tapi melihat kondisi mereka saat itu kadang bisa dimengerti karena segala sesuatu direncanakan selalu ada tantangan dan kesulitannya. Sulit bukan karena tidak bisa. Sulit karena terbatas. Mereka bergerak dalam keterbatasan. Tetapi mereka punya semangat. Semangat untuk melengkapi segala yang terbatas. Materi ya tidak mungkin. Yang memungkinkan adalah melengkapi keterbatasan kemampuan. Merekapun masing-masing bergerak sesuai porsi, daya yang dimiliki bahkan moodnya masing-masing. Ada yang memasak, ada yang menyiapkan perlengkapan kegiatan, ada yang “pontang-panting” menjemput peserta, ada yang sibuk “memanggil” peserta di group organisasi dan ada pula yang potret sana potret sini. 

Tidak semuanya berjalan seratus persen baik. Situasi dan kondisi yang mereka hadapi kadang membuat mereka tensi tinggi. Apalagi karena bukan mengurus satu kepala tetapi banyak kepala. Puyengnya lebih besar daripada sayangnya. Apa benar? Semuanya kembali pada diri mereka masing-masing. Tetapi harapannya tidak. Karena namanya “gelekat” mereka harus siap menerima segala masalah dan tantangan-kesulitan dengan segala konsekuensinya. Semuanya tergantung cara dan strategi. Jika cara ini gagal maka cari cara atau strategi lain yang produktif. Jangan menginginkan hasil yang berbeda, lebih besar tetapi tetap melakukan hal sama dengan cara yang sama. Itu orang gila, kata Albert Einstein.

Tapi nampaknya mereka mampu menyiasati segala persiapan itu dengan cukup matang. Sehingga yang tampak raut wajah mereka yang sumringah mengubur segala kemelut perasaan, emosi sesaat yang sesekali bercokol. Walau terlambat mereka kompak untuk bisa merealisasikan konsep kegiatan yang cukup baru bagi organisasi. Kegiatan yang terlihat simple tapi menyibak begitu banyak hal terlebih dalam upaya mematangkan kebersamaan dan persaudaraan dalam berorganisasi. Ingat, soal berorganisasi, “formal itu penting tetapi have fun juga dibutuhkan”. Rekoleksi, refleksi dalam paduan refresing yang mumpuni merupakan kolaborasi kegiatan yang tepat. Tujuannya sangat substansial, untuk penguatan kuantitas sekaligus penyegaran kualitas organisasi.


Let’s Go

Sekitar jam 10.00 WITA semuanya sudah dipersiapkan. Peserta yang mendaftar juga sudah berkumpul. Merekapun siap berangkat. Mereka pun memulai dengan doa. Kurang lebih menjelang jam 11 dua pick up yang sudah full terisi para peserta bergerak beriringan beberapa kendaraan roda dua menuju lokasi. Tampak rauh wajah gembira menyelimuti mereka saat itu. Jarak yang panjang tak menjadi alasan bagi mereka untuk mengeluh. Yang terpikirkan mungkin suasana dan nuansa baru apa yang nantinya mereka akan dapatkan di lokasi. Tak heran mabukpun tak menjadi aral untuk tetap bertahan dan menikmati kilometer demi kilometer jarak yang ditempuh. 

Normalnya kurang lebih sejam waktu yang dibutuhkan untuk sampai di lokasi yang dituju. Namun karena beberapa kilometer jalan yang masih rusak parah dan sesekali mereka harus beristirahat maka kurang lebih satu setengah jam mereka tiba. Melihat kondisi jalan yang cukup memprihatinkan satu dua peserta pun bergeming sinis. “Lokasi rekreasi yang sangat favorit, kok kondisi jalannya seperti ini? Siapa yang harus bertanggung jawab? Pemerintah atau masyarakat? Mereka pun berharap ada pihak yang bisa menjawab keprihatinan atas kondisi ini. Semoga.

Dinamika Kegiatan

Kurang lebih jam 12.30 merekapun tiba. View yang tampak indah dari pesisir pantai membuat mereka bergegas turun. Mereka ingin segera merasakan sensasi yang ditawarkan pantai berpasir putih ini. Ada yang menuju lopo yang sudah disiapkan, adapula yang langsung menuruni tangga menikmati aroma pantai secara lebih dekat. Asyik. Indah. Mantap. Satu dua kata spontan terucap. Mabukpun seketika hilang. Mereka pun mulai bersenda gurau dengan gaya dan ciri khasnya. 

Tak lama berselang itu, sekitar jam 13.00 waktunya makan siang. Masing-masing bergegas dengan caranya menyiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan makan. Tak butuh waktu lama semuanya sudah dihidangkan. Syukur atas rejeki itupun di wujudkan dalam doa makan bersama. Semuanya terlihat khusyuk. Dari berbeda latar belakang daerah, budaya, agama mereka mengamini berkat itu dengan rasa yang sama. “Terima kasih Tuhan”. Doa singkat itu mengawali kebersamaan makan siang mereka.

 Jam 14.00 merekapun berlanjut pada maksud pertama dari kegiatan ini, rekoleksi singkat dalam bingkai evaluasi organisasi. Sang moderator pun mulai angkat bicara. Ia menjelaskan secara singkat dinamika rekoleksinya. Setiap angkatan diberi porsi untuk memberikan catatan koreksi-evaluatif. “Semua anggota dari masing-masing angkatan diberi kesempatan berbicara, “ajaknya.  

Merekapun berproses dalam suasana rileks. Awalnya terlihat kaku namun perlahan-perlahan mencair ketika kesempatan demi kesempatan yang diberikan ditanggapi dengan baik. Catatan kritis pun mulai mereka tuangkan dengan pikiran yang masuk akal dan logis. Tanpa tendeng aling-aling mereka sampaikan apa yang mereka lihat dan alami selama menggeluti diri dalam wadah organisasi mereka ini. Ruang demokrasipun terbentuk. Setiap orang memiliki hak untuk berpendapat. Yang tercurah dalam dinamika singkat ini pun beraneka ragam pikiran, ada yang positif, ada pula yang negatif. Semuanya terkolaborasi dan mengarah pada tujuan yang satu yaitu kebaikan bersama dan kemajuan organisasi. Kemajuan dari segi kualitas maupun kuantitas. Rekoleksi singkat itu ditutup dengan catatan-catatan tambahan sekaligus close statement berupa kata-kata peneguhan dan motivasi dari  senior dan perwakilan orangtua yang hadir.


Melihat dinamika yang masing-masing mereka tampilkan saya teringat akan ulasan tentang tulisan seorang biksu dalam bukunya yang berjudul The Joy Of Living. Dikatakan bahwa cara pikir dan tindakan manusia bisa dibentuk atas dorongan tiga aspek: insting, memori dan logika. Orang berpikir dan berbicara berlandaskan insting cenderung mengandalkan nafsu, emosi, kehendak buta tanpa pikir panjang. Berlandaskan memori, orang cenderung berbicara atas dasar khayalan. Dan terakhir berlandaskan logika, orang berpikir, berbicara bahkan bertindak sudah berlandaskan pada sebuah pertimbangan dan analisis yang matang. Tidak asal bicara, tidak asal bertindak. Berbicara dari sebuah kenyataan bukan dari khayalan. 

Aspek ketiga inilah saya lihat sudah membentuk cara bertindak dan berpikir mereka. Memang kesimpulan ini agak terlalu instan karena hanya dilihat dari dinamika yang singkat ini. Tetapi saya percaya kehadiran mereka dalam organisasi ini perlahan-perlahan akan membentuk jatihdiri dan kepribadian yang sungguh-sungguh diharapkan banyak orang. Yakinlah, proses yang baik akan membentuk hasil yang luar biasa. Tetapi ingat, knowledge is power but character is more. 

Inilah rekoleksi ala GEMADORA Kupang. Kurang lebih dua jam mereka menekuni proses dalam dinamika ini. Konsep ini belum purnah. Tapi sudah menjadi dasar. Tinggal saja kedepannya dikembangkan dengan gaya yang berbeda, dengan konsep yang lebih baik dan terukur paling tidak kalkulasi waktunya lebih panjang sehingga nuansa rekoleksi tidak sebatas bicara tetapi ada ruang dan waktu bagi masing-masing mereka untuk merenung dan berefleksi tentang diri mereka sendiri dalam korelasinya dengan teman-teman  dan wadah organisasi itu sendiri. Karena dasar penting untuk membuat organisasi itu bisa bernyawa dan bertumbuh baik dimulai dari diri sendiri.


Refresing dan Pulang

Rekoleksipun selesai. Saatnya refresing. Masing-masing mereka pun bergerak mengambil posisi, mencari alternatif-alternatif gaya refresingnya. Ada yang jalan-jalan sepanjang pasir putih, ada yang bermain gitar, berenang, berpose, menari, ada pula yang cuma menghabiskan waktu dengan duduk cerita di bangku dan lopo-lopo kecil yang ada di pinggir pantai. Senyum, gelegar tawa dan teriakan-teriakan kegembiraan pun tak bisa terbendung menghiasi momen itu. Ya, kegembiraan dan kebahagiaan sangat dialami mereka saat itu. Mereka sangat menikmati kesempatan ini dengan sungguh-sungguh sampai jam waktunya pulang.

Haripun mulai gelap. Sunsetpun mulai menepi, perlahan-lahan di telan bumi. Mereka pun mulai bergegas. Sekitar jam 18.00 merekapun mulai mempersiapkan segala sesuatunya yang dibawa pulang agar tidak ada yang ketinggalan. Saatnya kembali. Kembali pada rumah perjuangan mereka. Berjuang untuk hidup dan masa depan mereka. Tak lupa mereka pun menutup semua rangkaian kegiatan dan perjalanan pulang mereka dengan doa. ”Terima kasih  Tuhan, terima kasih untuk semua hati yang sudah terlibat dalam seluruh rangkaian kegiatan hari ini”.  Amin.

Merekapun berangkat pulang ditemani dingin dan gerimisnya malam. Goodbye Tablolong!!!



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendidikan Karakter: Bagaimanakah Peran Praksis Sekolah?

Gadis Pemilik Caffe

MADING SEKOLAH: Wadah Praktis dan Kreatif untuk Mengasah Kemampuan Menulis