Air Mata Alexa

 

“Namaku Alexa”. Namun kadang teman-teman memanggilku, Xa.

“Aku Alfonsus”. Nama panggilanku, Al.

Itulah awal perkenalan kami di penghujung senja itu. Gadis setengah baya. Ya. Alexa namanya. Nama yang keren. Tidak sebatas itu. Seketika nama itu mengingatkanku pada sebuah kisah tua . Kisah tentang sosok masa lampau di belasan tahun yang lalu. Sosok penuh kenangan dalam kisah kebersamaan nan penuh daya. Antara aku, dia dan mereka. Ya. Dia Alexa teman kuliahku yang multi talent itu. Alexa Maria Adrianingsih. Itulah nama lengkap sosok tomboy berperawak imut kelahiran Temanggung. Gadis sosok tomboy itu jago mengutik snar-snar dengan nada-nada reggae. Semakin sempurna jika ia balutkan dengan lantunan suaranya yang khas. Walau berpenampilan keracak, berjiwa pemberontak tapi berhati lembut. Ia adalah satu-satunya gadis yang menjadi pemanis kekasaran pembawaan diri kami. Maklum ia satu-satunya darah Jawa yang mampu mengerti sosok dan karakter anak-anak Timur yang mendapat stigma blak-blakan, keras, urak-urakan, jiwa pemberontak. Untuk karakter terakhir mungkin juga telah membentuk pribadinya yang dulu penurut. Ia juga sosok gadis setia. Setia dalam hari-hari kami yang sulit. Sulit saat terlambat mendapat kiriman, sulit saat proposal tugas akhir selalu ditolak dengan berbagai alasan, sulit saat menderita sakit penyakit, sulit saat putus cinta. Kehadirannya selalu membuat kami selalu mengulas senyum optimis, bahagia, penuh harap. Kehadirannya yang penuh bakat membuat kami lupa akan malam yang panjang. Tempat nongkrong di pinggir kali Code di tengah Kota Gudeg itu menjadi saksi kesetiaannya. Hanya dengan gitar tua milliknya ia mengungkapkan jiwanya yang selalu ceria. Suaranya yang memelas merdu bagaikan madu yang senantiasa dicecap. Nikmat, adem itu yang terasa. 

Namun suara itu kini berlalu. Tak terdengar lagi. Sosok itu tinggal nama. Namanya kian redup di telan waktu yang tak terasa lagi jamahannya. Semuanya pupus tak bertepi. Cuma kenangan yang mengingatkan semuanya.

Bukan khayalan. Di senja ini sosok memorial itu mulai terngiang. Sepertinya nyata. Suasana pantai yang latah bersama semburan bayu yang berembus sepoi-sepoi mengunggah kembali kenangan itu. Alexa nama centil berbeda rupa itu kini ada. Ia duduk disampingku. Bibir yang terpoles natural tak henti-hentinya menyeruak kata-kata penuh daya, memikat penuh kepolosan. Wajah mungilnya melebarkan keceriaan yang luar biasa. Ia hanya gadis desa. Namun tatanan pesonanya menebarkan aura kekotaan yang memikat. Ia sudah mampu beradaptasi dengan “pernak-pernik” yang bernuansa kota. Namun sisi kenaturalannya tetap menjamah raganya. Ia tak lupa jatidirinya. Kepolosan dan penampilannya yang apa adanya memberi garis pembeda pada tatapanku. Tentang sosok ini akupun berceletuk dalam diam. Benar ya, yang indah tak selamanya mewah tapi bisa menyamankan hati. Kehadirannya membawa kesan yang istimewa. Pengobat rindu pada kisah masa dulu. Ya dulu dan sekarang ternyata beda-beda tipis. Nyata. Ia telah ada. Alexa mungil itu sungguh memberi arti pada senja. Suasana itu makin ceria ketika mendengar celotehan-celotehan humorisnya menghujam sepi. Senyum dan tawa pun akhirnya membingkai perkenalan awal itu. Kami pun larut dalam kisah singkat yang saling memelas. Memelas dalam rasa yang sama. Antara dia dan kisah masa lalu. Kami pun menikmati apa adanya tanpa menyadari semua kisah dibalik itu.

Tiba-tiba. Suasana senja yang sedari awal penuh keceriaan perlahan-perlahan mengatup bisu. Tak ada lagi kata-kata lelucon seperti awal di saat kami berjumpa dan berkenalan. Tak ada lagi tawa. Tawa yang membingkai kisah perjumpaan yang singkat namun secepatnya akrab itu. Perjumpaan yang mudah mendekatkan. Perjumpaan yang saling memenjarakan. Ibarat dua sejoli yang sedang menenun rasa. Rasa untuk saling memiliki. Mencair, mengalir menuju muara yang sama. Tak ada rasa segan yang membatasi. Tak ada rasa enggan untuk mengulas senyum dalam tatapan yang berbinar. Kami sama-sama saling memiliki maksud perjumpaan yang disengajakan itu. Namun semuanya kini perlahan-lahan terurai meninggalkan kisah pilu yang mengulum luka. Luka yang perlaha-lahan mengiris perih. Sakitnya seketika menghentak seluruh raga. Alexa, gadis bermata shyadu itu pun seketika lemah. Lunglai. Tatapan matanyapun mulai meredup pergi menyusup hari yang perlahan melata menjemput malam. Merendam onggokan gejolak diri. Mengekang, memendam. Tak secerah pantulan sinar pada riakan air di bibir pantai. Tatapannya jauh melayang. Matanya pun berlinang. Iapun menunduk sembari menatap tak berkedip pada barisan tulisan yang ada di androitnya. Kelopak matanya sesekali mengatup. Pelan dan menahan. Tak berselang lama desahan nafas panjang diiringi isakan tangisnya terdengar memelas sunyi. Ia hanya terpekur sambil sesekali menyeka butiran-butiran air mata yang menetes perlahan. Ia diam seketika. Hanya sesekali terdengar isak pelan. Melihat situasi yang tiba-tiba berubah aku pun jadi bingung. Seketika rentetan pertanyaan mengoyak pikiran. Kenapa ya? Apa yang terjadi dengan Alexa? Apa yang sedang dipikirkannya?

“Kamu kenapa Xa? Tanyaku mencoba mencari tahu.

Pipi yang selalu mengemaskan pesona yang ceria, perlahan-lahan bergelimangkan air mata. Isakan mulai kuat terdengar.

“Ayahku tiba-tiba mendapat sakit strok Kak”, “kata gadis setengah baya itu terbatah-batah sembari menunjukkan sms yang masuk di Androitnya.

Isakan tangisnya pun semakin menguat memekakkan sepi. Mendengar itu akupun tersentak kaget. Menatapnya aku tak kuat. Mata ku tak mampu berpaling seperti semula. Aku tak mau menatap lebih lama. Tak tega melihatnya. Fokusku kini hanya pada cahaya bening yang memeluk hamparan laut yang bergerak perlahan menjemput bibir pantai. Sesekali ku tak berkedip walau riakan sibiru mulai mengencang menggoda dalam balutan gelombang yang mulai membanting. Pikiranku hanya tentang Alexa saat ini. Ku membayangkan bagaimana situasinya ketika mendengar kabar itu. Pasti merasa sangat terpukul. Karena ini bukan tentang siapa-siapa. Bukan tentang teman kelas. Bukan tentang sepupu sedarah. Bukan tentang sahabat seprofesi. Bukan saudara seasrama. Jika tentang mereka inipun kadang membuat hati kita terkoyak. Apalagi tentang laki-laki sedarah. Figur rentah pengorban raga dan darah. Figur yang kuat mengolah rasa sakit. Figur yang jarang menunjukkan air mata walau perih. Figur yang tak sempat mengusap keringat walau disengat terik. Sang tulang punggung penumbuh masa depan. Sang nahkoda biduk hidup yang selalu kuat mengarungi tantangan. Cuma air mata Alexa, ku membayangkan itu. Ya, betapa berharganya sosok seorang ayah. Harga yang tak dapat terbayarkan dengan apapun. Sukar didefinisikan dengan kata-kata penguatan siapapun. Hanya dengan kedekatan rasa kita dapat mengamini dan mengakui itu semua. Air mata adalah cara pengenangan yang paling kusuk. Tak tega. Perlahan-lahan kusandarkan kepala sang gadis mungil itu ke bahuku. Tak ada kata-kata terlontarkan. Dalam hati kuhanya daraskan doa: “Tuhan aku yakin Engkau tahu saat ini. Jika Engkau berkenan,  sembuhkan ayah Alexa. Amin.” (EL)











Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendidikan Karakter: Bagaimanakah Peran Praksis Sekolah?

REKOLEKSI ala GEMADORA Kupang (Sebuah Catatan Kisah)

MADING SEKOLAH: Wadah Praktis dan Kreatif untuk Mengasah Kemampuan Menulis