Diskusi 17 Agustus GEMADORA Kupang: Dari Kuliah sampai Pasar Waiwadan
Hari sudah sore kira-kira jam 17.20
WITA. Dari rumah sayapun bergegas menuju alamat yang dituju. Alamat berdasarkan
undangan yang disampaikan via chat whatshap. Beat pun kulajukan secepat mungkin. Jika disesuaikan dengan waktu
pada undangan saya sudah terlambat. Namun untungnya jarak antara rumah
dan alamat undangan tidak terlalu jauh. Butuh waktu 7 menit sampai disana.
Paling lambat 12 atau 13 menit jika dihadang kemacetan di area pasar,
pertigaan atau di area supermarket. Iya macet. Masalah klasik yang sering
terjadi di kota-kota modern. Termasuk disini, kota Kupang.
Tidak berselang lama saya pun tiba.
Dari jalan terlihat beberapa orang sudah
menunggu. Mereka adalah anak-anak kuliahan. Terlihat mereka sedang asyik. Asyik
bersendagurau, ada juga terlihat sangat serius. Mungkin
mereka lagi berbagi pengalaman tentang aktivitas organisasi dan perkuliahannya
mereka. Ataupun tentang uang makan dan uang kos yang belum dikirim orang
tua-sanak keluarga yang ada di kampung. Ya beginilah nasib para pengais ilmu.
Kadang sepanjang hari hanya kopi menjadi pengalas perut
yang keroncong. Derita memang. Derita secara pribadi maupun derita secara berjemaah.
Itulah kenyataannya satu gelas kopi bisa diseruput dua sampai empat mulut.
Sayapun tiba. Segera kuparkirkan Beat di sebelah papan nama sederhana
yang bertuliskan: Sekretariat GEMADORA Kupang.
Sekadar diketahui, GEMADORA adalah
akronim dari Gerakan Mahasiswa Adonara Barat. Organisasi kemahasiswaan ini juga
masih tergolong baru. Dibentuk sekitar 4 tahun yang lalu. Tujuannya untuk
menjadi wadah edukatif: tempat belajar, berdiskusi, berorganisasi, berbagi suka
dan duka bagi semua mahasiswa Adonara Barat yang berdomisili di kota Kupang dan
juga mahasiswa non Adonara Barat yang
mau menimbah spirit dan ilmu yang sudah dikemas cukup apik dalam organisasi
ini. Semangat organisasi mereka luar biasa walau masih bergerak dalam situasi
dan kondisi yang serba terbatas.
Secara personal saya cukup kenal
organisasi ini luar dan dalam. Ketika ada undangan-undangan diskusi seperti ini
saya tidak lupa membawa penganan-penganan kecil dan sejenisnya. Tidak banyak.
Hanya sekadar menunjukkan bahwa mereka tidak bergerak dan berjalan sendiri.
Sekaligus menyatakan kepada mereka bahwa ukuran keberpihakan paling ensensial
bukan pada pemberian dengan motif instan/pragmatif tetapi pemberian yang berasal
dari sebuah niat baik untuk tujuan bonum
commune yang selalu dan akan hidup dari waktu ke waktu, dari generasi yang
satu ke generasi yang berikutnya.
Sayapun masuk ke rumah yang belum
setahun mereka tempati ini. Rumah yang didapat dengan susah payah. Ya susah
payah. Tidak dapat saya jelaskan secara detail; hanya Tuhan yang tahu; hanya semesta
yang masih memandang mereka dengan tersenyum.
“Selamat malam semua, selamat malam juga Kaka”. Sapaan saya dan jawaban balasan dari mereka membuka pertemuan dan keakraban awal kami di penghujung senja itu.
Malam itu jumlah mereka tidak banyak. Hanya ada pengurus inti, senior dan beberapa anggota aktif. Rumah tua itupun seketika mulai berisik. Berisik tentang ide. Ide tentang banyak kenyataan. Dan ide tentang sebuah harapan. Kali ini ide itu coba dikemas untuk mengenang nilai patriotisme yang disematkan dalam momen perjuangan Kemerdekaan RI yang sudah berumur ke-77 tahun ini. Kamipun memulai dengan tema-tema pengantar
Tema ini berawal dari sebuah
pertanyaan: “Kaka, kuliah S2 itu sulit ya?”. Pertanyaan singkat, padat dan
jelas ini mengingatkan saya tentang kisah memorable sewaktu berpredikat menjadi
mahasiswa dulu. Saya pun mulai menjawab berdasarkan pengalaman yang pernah saya
tekuni di sekian tahun yang lalu. Penjelasan sayapun to the point saja. Jika digambarkan atau dijelaskan secara detail
maka bisa dinarasikan menjadi satu buku bahkan dari satu jilid ke jilid
berikutnya. Terlalu panjang. Karena setiap momen memiliki kekuatan perjuangan
yang unik dan inspiratif. Prosesnya juga panjang karena memakan waktu. Semakin
panjang, jika kita tidak bertanggungjawab atas rentang waktu itu dan tidak memiliki
komitmen untuk mengakhirinya.
Ya, menjadi mahasiswa itu bukan
sebuah pekerjaan yang mudah. Pekerjaan yang mengandalkan otak itu lebih berat daripada
pekerjaan yang mengandalkan fisik. Setiap strata/tingkatan dalam perkuliahan
memiliki tingkat kesulitan yang berbeda-beda. Semakin tinggi strata yang mau
kita raih maka semakin banyak tingkat kesulitannya. Namun ini bukan menjadi faktor
penghalangnya. Jika kita punya motivasi yang sungguh-sungguh, bertanggung jawab
dalam menjalankannya dan komitmen untuk menyelesaikannya, saya yakin proses itu
dapat kita akhiri dengan baik.
Banyak mahasiswa yang tersendat
terlalu lama bahkan akhirnya patah ditengah jalan juga karena alasan ini; mereka tidak mampu menjadi mahasiswa yang
“sungguh-sungguh: motivasi awalnya digerus dengan kecenderungan-kecenderungan
lainnya yang sifatnya tambahan”, tidak bertanggungjawab dan komitmen dengan
kewajibannya. Dan paling penting digarisbawahi adalah bahwa menjadi anak kuliahan
di strata apapun adalah sebuah proses yang komplit dan standarnya tetap.
Mahasiswa yang mampu menyelesaikan seluruh proses itu dengan jujur akan menjadi
sebuah kebanggaan dan kehormatan tersendiri pada title atau gelar yang diraihnya
jika dibandingkan dengan mereka yang mengebiri proses itu dengan cara-cara
instan (misalnya dengan uang, hubungan kedekatan, dll). Jika ada dunia
pendidikan melanggengkan cara-cara instan ini maka gelar, title hanya diperuntukkan
bagi mereka yang ber-uang, mereka yang memiliki hubungan kedekatan
sosial,ekonomi, politik dan sejenisnya.
Lalu kita yang lain sebatas pengagum?
Tidak apa-apa, tapi ingat gelar, title bukan menjadi faktor utama membuat diri
kita dan orang lain menjadi bermartabat. Yang lebih penting adalah potensi diri yang berguna dan
karakter diri yang bisa menjadi panutan.
“...Jadi teman-teman yang merasa mampu dari semua segi baik otak, biaya, motivasi dan komitmen diri, lanjutlah ke strata yang lebih tinggi. Gelar, title itu cuma bonus kehormatan atas perjuangan kita selama kuliah. Tetapi itu bukan yang utama. Yang paling penting adalah dunia ilmu yang kita peroleh nantinya dapat menghidupi diri dan orang lain yang ada di sekitar kita..”
Cerita tentang kuliahpun dibatasi.
Karena diskusi tentang kuliah seperti sharing saya di atas bukan menjadi topik
utama diskusi kami malam ini. Sharing ini sekadar pengantar untuk mengisi waktu
sembari menunggu kehadiran teman-teman anggota organisasi yang lain. Tidak lama,
satu persatu anggota organisasi sudah memenuhi ruangan kecil tempat mereka
menggali dan mengemas ide. Ada yang duduk di bangku, potongan kayu, ban bekas
dan ada sebagiannya duduk bersilah dibawah tikar/lantai.
Di tengah ada sebuah meja panjang sederhana
yang beralaskan baliho bekas, juga disediahkan dua-tiga piring pisang goreng,
tempe goreng dan beberapa gelas kopi panas. Ada juga dua botol aqua ukuran sedang
yang berisi “arak/moke Timor”. Katanya sebagai minuman penghangat tubuh.
Hummmmm, bisa juga karena beberapa hari terakhir ini udara di Kota Kupang
terasa cukup dingin akibat tiupan angin kencang. Apalagi rumah sekret ini
berada diantara pepohonan jati. Dinginnya pasti sangat terasa. Kamipun mulai sibuk mengunyah dan menyeruput kopi panas yang
ada. Berbarengan mengunyah dan menyeruput itu kamipun larut dalam diskusi. Tema
diskusinya tentang kondisi di kampung. Kali ini tentang kondisi pasar Waiwadan.
Iya Pasar Waiwadan.
Pasar Waiwadan, sebuah pasar yang sudah berusia tua. Pasar ini terletak di jantung kota Kecamatan Adonara Barat yaitu Waiwadan. Pasar ini tergolong pasar besar jika dilihat pada faktor kuantitas penjual dan pembelinya. Penjual dan pembeli juga bukan hanya masyarakat setempat tetapi lintas desa, kecamatan, pulau bahkan lintas kabupaten. Hari Rabu dan Sabtu adalah waktu pasarnya. Dua hari pasar yang ramai.
Lebih ramainya di hari Sabtu.
Coba ke pasar di hari Sabtu, maka bersiaplah-siaplah kita terhimpit diantara
manusia, barang dan kendaraan. Mepet,
pres-pres haaa…. Walau dengan kondisi demikian, setiap hari Sabtu pasar ini
tidak sepi. Selalu ramai, padat, penuh. Terkenalnya pasar ini kadang menjadi
inspirasi bagi para seniman dalam membuat syair lagu. Salah satunya yang pernah
diciptakan Elmondo T Dasilva seorang penyanyi legendaris Flores Timur dengan
judul: “Bale Pasar Waiwadan”/Kembali dari Pasar Waiwadan. Itulah Pasar
Waiwadan, bukan hanya ada uang dan barang tetapi cinta juga bersemi disana,
haaaa…
Mengapa pasar ini digandrungi mungkin karena
roda pertukaran uang, barang dan jasa berjalan sangat baik. Pembeli dapat
mendapatkan barang yang diinginkan dan penjual dapat memperoleh keuntungan dari
hasil jualannya.
Namun selama ini menjadi soal sejak
pasar itu ada dan berkembang adalah bahwa pasar ini belum dikelolah secara baik.
Atau dalam istilah risetnya, faktok fisik, manajemen, ekonomi dan sosial terkait
pasar belum sampai pada kondisi yang diharapkan. Atas dasar tujuan ini sejalan
dengan program Presiden Jokowi terkait pemberdayaan ribuan pasar tradisonal di
Indonesia maka beberapa tahun yang lalu Pasar Waiwadan ini juga di renovasi
insfrastrukturnya atau berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan, di
Revitalisasi. Bacalah Permendag No 21 Tahun 2021 semuanya
tersurat dan terirat disana. Tujuan revitalisasi secara de iure adalah untuk menciptakan lingkungan pasar yang aman, bersih
dan sehat.
Selain itu juga, revitalisasi pasar
khususnya pasar-pasar tradisional pada hakikatnya harus bisa mengakomodir kepentingan
penjual/pedagang lama dan pedagang-pedagang lokal yang berasal dari masyarakat
setempat. Pasar harus memberi ruang dan tempat pada penjual/pedagang dan
pembeli lokal untuk melakukan transaksi jual beli secara baik, aman dan lancar.
Lalu bagaimana dengan kondisi Pasar Waiwadan secata de facto?
Berdasarkan
hasil riset dan sharing pengalaman selama diskusi ditemukan fakta dan kejadian
bahwa tujuan pasar belum ditata secara baik dan persoalan klasik yang menjadi masalah dalam pasar belum dimanage secara bijak, adil dan profesional. Bahkan sampai sekarang semenjak pasar Waiwadan direnovasi dengan pembangunan
sebuah gedung baru di tengah pasar. Alhasilnya, ada penjual yang enggan menggunakan gedung itu. Ada ruangan
untuk penjualan dibiarkan kosong. Masih banyak penjual lokal dari masyarakat
setempat berusaha sendiri mencari tempat untuk menjajahkan hasil jualannya.
Tujuannya supaya hasil jualannya cepat laku terjual. Efeknya di panas terik, di
pinggir-pinggir jalan mereka mengadu nasib untuk mendapat sesen-duasen bagi
pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarganya dan biaya kuliah anak-anaknya. Desakan
dan tuntutan ekonomi ini juga akhirnya kadang membuat perlawanan spontan
terhadap para retributor alias petugas/oknum penarik pajak retribusi. Retribusi itu wajib. Namun ada catatannya bahwa jika ada retribusi yang “dipaksakan” untuk mereka (penjual/pedagang) tanggung maka selayaknya juga mereka mendapatkan haknya secara seimbang dan adil. Hak untuk mendapat tempat/ruang berjualan yang
baik, pantas dan layak. Iyakan?
Pertanyaannya, apakah
revitalisasi pasar Waiwadan sudah berjalan sesuai dengan tujuan seperti yang
diamanatkan Permendag? Jangan sampai tujuan revitalisasi pasar hanya untuk
mendapatkan retribusi? Apakah demikian? Apakah tujuan revitalisasi pasar sudah
menjawab karakter, ciri Pasar Waiwadan yang sebenarnya yang sudah terbentuk
lama dan berlaku secara turun temurun? Jangan sampai revitalisasi pasar hanya untuk
mengakomodir kepentingan bisnis para tuan yang punya uang dan kuasa. Kondisi ini
menjadi tidak adil dan menyakitkan bagi mama-mama, bapak-bapak, oma-oma,
opa-opa yang cuma melihat, merasakan namun tak mampu bersuara.
Lalu siapa yang harus bersuara?
Siapa
yang harus mewakili suara mereka yang bisa bersuara namun tidak mampu
berkata-kata atau suara yang tidak memiliki hak untk bersuara (the voice to the voiceless)? Bagaimana tanggapan kita anggota GEMADORA Kupang yang juga secara tidak
langsung mendapat imbas dari masalah ini? Sebagai agen of chances kita harus bersuara kan? Ayo kita bersuara dengan
cara-cara kita. Bangun terus diskursus ini sampai ke telinga para pembuat dan
pengambil kebijakan.
Diskusi 17 Agustus mengenang HUT RI ke-77 itupun kami akhiri
dengan beragam catatan-catatan penting: catatan tentang kuliah, organisasi dan
kondisi real yang terjadi di kampung halaman (*)
Eddy Lamawato/Penulis Lepas
Komentar
Posting Komentar