Pendidikan: Sirkuit Balap atau Taman Belajar?


Menarik untuk dicermati tulisan Bukik Setiawan penulis buku Anak Bukan Kertas Kosong. Ia mengibaratkan misi pendidikan bagaikan sirkuit balap dan taman belajar. Indikator utama sirkuit balap adalah kecepatan. Siapa yang paling cepat mencapai garis akhir akan menjadi juara. Sorak sorai, ucapan selamat dan hadiah menjadi milik sang juara. Sementara, mereka yang tertinggal diabaikan, dicemooh atau bahkan dikeluarkan pada musim balap selanjutnya. Semakin bergengsi sebuah lomba balap, semakin besar dana yang harus disediakan untuk mengikutinya. Semakin sengit pula suasana persaingan antar pembalap dan tim untuk mencapai kemenangan.
Dalam sirkuit balap pendidikan, sekolah menjadi pabrikan dan siswa menjadi pembalap. Sekolah negeri yang berkewajiban mendidik semua anak berubah menjadi selektif. Mereka lebih suka menerima murid yang kemampuan akademisnya menonjol, yang memudahkan sekolah mencapai target. Semua harus lulus ujian nasional demi nama baik sekolah. Anak-anak terus menerus dituntut berlari mengejar target agar menjadi juara di sirkuit balap.
Sedangkan pendidikan sebagai taman setidaknya memiliki tiga ciri yaitu pertama, kemerdekaan. Kita datang ke taman karena kesukarelaan, bukan paksaan dari pihak lain. Pendidikan bukanlan menuntut anak, tapi menumbuhkan kesukarelaan anak untuk belajar. Bukan terpaksa belajar, tapi gemar belajar. Kedua, ketertiban. Meski kita merdeka datang ke taman, tapi bukan berarti bebas sesuka hati. Pendidikan mendidik anak-anak untuk berlaku tertib. Bukan tertib yang paksakan, tapi tertib yang tumbuh dari kesadaran untuk menjaga kegembiraan bersama. Ketiga, kebahagiaan. Orang datang ke taman bukan bertujuan untuk mendapatkan piala atau jadi juara, tapi datang untuk bersenang hati. Pendidikan bukan untuk mencetak manusia juara, tapi manusia bahagia. Kebahagiaan dapat dicapai bila anak bisa mengaktualisasikan potensi dirinya. Setiap anak mempunyai kodratnya sendiri. Pendidik tidak bisa memaksa atau mendikte, tapi hanya bisa menuntut tumbuhnya kodrat tersebut. Selanjutnya, pencapaian kebahagiaan tercapai ketika anak bisa menggunakan potensi dirinya untuk memberi manfaat pada orang lain.
Upaya mengubah pendidikan dari sebagai sirkuit balap menjadi sebuah taman harus didukung oleh semua pihak. Keberhasilan pendidikan jangan lagi diukur dari kecepatan lulus, tapi dari kebahagiaan yang dirasakan dan manfaat yang diberikan peserta didik. Bantu peserta didik mengenali dan mengoptimalkan potensinya. Anak bukan kertas kosong yang dipaksa belajar, tapi subyek pembelajaran yang butuh penguatan untuk terus menerus belajar. Bersikaplah menjadi pendukung, bukan penuntut terhadap anak. Jadikan kebahagiaan sebagai acuan dalam mendidik anak. (EL)
                                                                    


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendidikan Karakter: Bagaimanakah Peran Praksis Sekolah?

REKOLEKSI ala GEMADORA Kupang (Sebuah Catatan Kisah)

MADING SEKOLAH: Wadah Praktis dan Kreatif untuk Mengasah Kemampuan Menulis