MENGULAS KESAL, MENGUAK PENGHARAPAN UNTUK OEVETNAI (Sekelumit Catatan Pribadi tentang Kisah Penolakan PG-PAN di Oevetnai)
KESAL. Sebuah kata yang menggambarkan situasi dan kondisi waktu itu di
hari Minggu tanggal 12 Maret 2017. Jam waktu itu menunjukkan pukul 04.30 WITA.
Masih dinihari. Dalam kegalauan rasa kumenatap keluar lewat pintu sempit dari
ruangan berukuran 3x4 tempat kami menumpang dan membaringkan raga. Kami hanya
menumpang untuk mengamankan diri, bukan diamankan. Karena malam itu kamilah
yang punya inisiatif untuk mengamankan diri. Inisiatif ini kami harus ambil
karena waktu itu kami dalam posisi tidak nyaman dengan teror yang sudah
disetting sedemikian rupa. Seperti itulah pemikiran kami waktu itu. Ada
kesengajaan cara yang coba dimanfaatkan untuk mengusir secara halus keberadaan
kami yang waktu itu dianggap sebagai gerakan yang “sangat mengancam”. Sebagai
tamu yang adalah orang-orang baru berhadapan dengan situasi itu kami pun jadi
dilema.
Lalu di mana inisiatif mereka yang katanya penjaga keamanan dan keselamatan masyarakat? Ah, semuanya berbalut dalam kata tanya mengapa dan kenapa. Matapun tiba-tiba belalak menatap jauh dipenghujung malam itu. Ternyata keadaan masih gelap gulita. Kucoba menutup mata kembali untuk mengobati letihnya raga yang sudah menghilangkan sadarku sejam yang lalu walau diatas dinginnya pembaringan yang cuma beralaskan sehelai kain. Iya, cuma sejam karena rasa kaget selalu menegurku untuk terbangun. Tidur pun jadi tak tenang. Kulihat disamping kiri dan kanan situasi yang sama juga dialami teman-temanku Patroli Garuda, Peduli Anak Negeri (PG-PAN) sebagai sayap kanan MPC NTT. Mereka kadang melongohkan mata, memaksa diri terjaga dari rasa kantuk yang tak tertahan. Semua rasa pun jadi tak karuan semenjak berhadapan dengan sederetan pengalaman penolakan dari sebuah misi kepedulian anak negeri di sepanjang hari itu.
Mengingat kisah penolakan yang penuh dramatikal ala kisah penangkapan
Yesus di Taman Getzemani membuatku juga terjaga lama. Dalam benak kubertanya
kenapa karya kepedulian untuk anak negeri yang haknya diabaikan koq dibalas
dengan cara intimidatif? Benar ya pernyataan saya ini? Saya mencoba
menyimpulkan dari pernyataan arogan kepala desa, “Jika saudara-saudara tidak
keluar malam ini, maka saya akan memaksa saudara-saudara malam ini keluar dari
tempat ini?” Apakah ini cara berdemokrasi yang baik? Inikah makna demokrasi
yang dimaknai dan diusung anak negeri di seantero pertiwi ini? Apakah etika dan
attitude orang Timor terhadap tamu yang datang yang sebelumnya sudah diterima
dengan pelukan mesrah seperti ini? Ada apa dengan semuanya ini?
Dalam diam kutelusuri jejak-jejak kisah yang berjalan seharian tadi. Dan satu pertanyaan kunci menggelitik nurani, siapakah antek-antek tendensius yang beretorika secara liar seperti produk manusia prademokrasi? Tokoh Yudas sang pengkhianat dan si Pilatus sang pemimpin “pencuci tangan” (pelepas tanggung jawab) menjadi sorotan permenungan saya dalam kemelut kisah penolakan ini. Siapakah mereka-mereka ini yang menggunakan komunikasi verbal ala preman yang berusaha mengintimidasi misi kepedulian ini? Apakah niat terselubung mereka-mereka yang mengatasnamakan diri sebagai kepala desa, pengusaha, pembisnis, tokoh masyarakat yang melakukan blokade misi kepedulian dengan ocehan mulut berbau miras, berkata dengan penuh arogansi?
Dan kenapa pula orang-orang itu yang berbaju seragam lengkap yang katanya pengayom masyarakat hanya duduk diam, melongoh, menatap tanpa peduli dan membiarkan kisah ini telanjang tanpa intervensi sedikitpun? “Aduh pak terhormat apakah pangkat yang engkau panggul di bahu tegakmu hanya sekadar simbol tanpa aksi sebagai wujud tanggung jawabmu?” Kredibilitas negara yang perlu dipertanyakan.
Lalu mengapa sikonnya seperti ini? Apakah ini sekenario yang sudah dirancang ala preman dan preman atau ala preman dan penguasa? Apakah skenario ini juga berlaku untuk mengintimidasi masyarakat setempat selama ini? Memang cukup pelik untuk menganalisa lebih jauh tapi kenyataannya memang begitu. Jika demikian maka setiap orang yang mengakui dan hidup dalam negara berpayungkan demokrasi perlu mengintimidasi fenomena-fenomena seperti ini agar tidak menjadi habitus yang akut. Salah satunya adalah peran negara. Berhadapan dengan fenomena sosial seperti ini peran negara perlu dibutuhkan jika tidak posisi orang kecil tetap terdamprat pada posisi yang tetap sulit. Hmmmm mengerikan. Miris. Menyakitkan. Dalam permenungan panjang kucoba memaksakan diri untuk mencari tahu, menghubungkan setiap momen yang membingkai peristiwa sepanjang hari. Mungkin disanalah bisa ditemukan biangkeladi, sebab musabab munculnya penolakan yang syarat kepentingan itu.
Aku pun menuju tempat di mana pertama kami berkumpul, bergurau, bercanda, berdebat tentang kejadian sepanjang hari itu yang telah mengurat kening dan memanaskan tensi. Sebelum mengambil posisi duduk di tempat itu kuambil inisiatif berjalan keliling memantau sikon dari tempat yang bertuliskan keterangan Kepolisian Resor Belu Sektor Wewiku di papan tua di depan pendopo yang berwarna kuning pudar. Pendopo tua itu pun semenjak hari menjemput malam dan semenjak kami memekikkan rasa ketidakpuasan di tempat itu, terlihat sepi dari suara-suara sang pemilik. Memang satu dua orang berusaha meladeni pembicaraan kami tapi lebih dari itu kebanyakan hanya diam, cuek dan menguntit setiap pembicaraan yang berhamburan cukup kasar nan penuh emosional di malam itu. Sepertinya ada ketakutan untuk mengambil posisi membela dan menentang. Mereka jadi dilema. Mengambil posisi aman itulah yang mereka pilih.
Huffffff,,,,mengingat semuanya rasa dongkol dan sakit hati bersenyawa dalam tensi yang tinggi. Namun melawan dengan kata-kata pembelaan juga hanya memperburuk situasi. Lebih baik diam sambil mencari cara cerdas untuk mengais persoalan ini sampai ke akar-akarnya. Karena kemelut apapun yang berusaha mendampratkan posisi orang kecil tetap pada posisi sulit adalah penyesatan martabat dan makna demokrasi yang sesungguhnya. Pagi yang singkat itu memang telah menghantarkanku ke dalam permenungan dan refleksi yang panjang. Semuanya tentang kisah kepedulian tentang masa depan dan nasib anak negeri di sumber mata air itu.
Oevetnai. Namamu kini jadi purnama di malam gelap, pelangi di kabutnya cakrawala. Semoga semua mata memandangmu indahnya perjuanganmu sembari menunggu harapanmu segera menjadi nyata dilahan bhakti perjalanan generasi daerahmu. Tidak perlu kamu sekolahmu menjadi model. Yang lebih penting bisa menjadi wadah yang layak untuk mengasa masa depanmu menjadi lebih baik dan merdeka pada setiap kungkungan dan intimidasi berbau kepentingan. Oevetnai teruslah berjuang.
Dan untukmu sang pengambil kebijakan tolong selamatkan masa depan anak-anak tak bersalah itu. Menunggu waktu dua tahun itu bukanlah solusi bijak. Solusi yang paling terhormat cuma satu. Bukalah kembali sekolah itu dan perbaikilah sarana prasarana yang ada sehingga bisa menjadi wadah pendidikan yang layak bagi mereka untuk melanjutkan mimpi yang telah mereka rajut semenjak lima tahun yang lalu. Karena perjuangan untuk mengasa masa depan pendidikan generasi mereka sudah dan sedang berjalan. Jangan buat mereka patah semangat untuk memulai sesuatu yang baik dan mulia dari usaha dan kerja keras mereka untuk membangun kampungnya sendiri walau berbalutkan keringat dan air mata. (*)
Cerita yang mendalam...
BalasHapusMenarik Kaka..
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusIni baru namanya laporan
BalasHapusMantap Kk