Peserta Didik Bukanlah Botol Kosong

Ada curhatan yang menarik dari beberapa guru maupun siswa di saat kami memberikan pelatihan di beberapa sekolah binaan. Mereka mengungkapkan bahwa pelatihan yang kami berikan sangat menarik. Bukan hanya sekedar menarik, pelatihan yang digalahkan MPC NTT ini telah mampu menstimulus, menggali dan mengekspos potensi dan kemampuan para peserta yang selama ini terpendam. Buktinya beberapa siswa yang selama ini pendiam, apatis, kurang kreatif akhirnya mampu menunjukkan kemampuan yang luar biasa. Selain itu masih banyak fenomena buram yang membingkai proses dan metode pendidikan di sekolah-sekolah. Pertanyaannya, seperti apa proses pendidikan ideal yang diharapkan?

Proses pendidikan seharusnya menjadi media bagi siswa untuk mengembangkan ide, gagasan dan kreativitasnya. Selayaknya pendidikan memberikan ruang seluas-luasnya bagi pengembangan daya imajinasi, penggalian potensi dan daya kreativitas peserta didik. Namun acapkali terjadi adalah sebaliknya. Proses pendidikan di sekolah seringkali memenjarakan ide, gagasan, imajinasi dan kreativitas peserta didik. Tanpa disadari sistem persekolahan kerapkali mengkerdilkan dan memiskinkan daya kreatif dan daya imajinasi peserta didik. Anak-anak yang dahulunya penuh ide kreatif ketika memasuki bangku persekolahan kehilangan imajinasi dan kreativitasnya berubah menjadi anak-anak yang penurut dan penakut. Takut untuk menyatakan pendapat, idea tau gagasannya dan tidak kreatif, melakukan sesuatu hanya apabila ada perintah atau petunjuk dari guru. Metode pembelajaran yang monoton dan tidak inspiratif juga telah menjauhkan peserta didik dari kemandirian berpikir dan sikap kritis. Mendorong anak-anak tumbuh dalam sikap kepatuhan tanpa kesanggupan menyatakan diri secara penuh dan utuh.

Proses pendidikan bukanlah proses mengisi botol kosong, di mana siswa dianggap sebagai botol kosong yang selalu diisi tanpa memiliki kemampuan dan kesanggupan untuk mencari, mengolah dan menemukan makna dari proses pendidikan dijalaninya. Peserta didik juga bukanlah botol kosong tetapi merupakan pribadi yang hidup yang memiliki rasa, karsa dan daya cipta. Tugas guru adalah mendampingi dan mendorong mereka mencapai kepenuhan diri, membantu mengembangkan seluruh sisi kemanusiaan serta tumbuh secara seimbang dan optimal.
Ironisnya, dalam proses pembelajaran di kelas seringkali banyak didominasi dan berpusat pada peran guru serta cenderung bersifat monologis. Pola interaksi demikian juga memosisikan guru sebagai penguasa yang memiliki hegemoni dan dominasi sepihak dalam menafsir makna materi pembelajaran yang kebenarannya tanpa terbantahkan oleh siswa manapun. Pada titik inilah terjadi relasi yang timpang antara guru dan siswa.


Untuk itu perlu dikedepankan proses pembelajaran yang dialogis dan berpusat pada siswa. Pembelajaran yang partisipatoris dan dialogis mengandaikan  terjadinya interaksi aktif antara guru dan siswa dalam sebuah relasi yang egaliter. Dalam proses pembelajaran yang partisipatoris dan dialogis proses pembelajaran bukan sekedar proses memorasi dan recall ataupun penguasaan pengetahuan semata, tidak hanya sebatas mengolah ranah kognitif, competence belaka. Namun conscience (berhati nurani benar) dan compassion (memiliki kepedulian terhadap sesama) juga mendapatkan perhatian. Di sana tersirat adanya proses internalisasi, proses untuk menerima, menghayati nilai dari sesuatu yang berada di luar dirinya menjadi bagian dari dirinya. Dengan demikian proses pendidikan akan sungguh mampu mengembangkan seluruh sisi kemanusiaan peserta didik secara penuh dan utuh. (EL)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendidikan Karakter: Bagaimanakah Peran Praksis Sekolah?

REKOLEKSI ala GEMADORA Kupang (Sebuah Catatan Kisah)

MADING SEKOLAH: Wadah Praktis dan Kreatif untuk Mengasah Kemampuan Menulis