Jika Pendidikan Ibarat Politik Belah Bambu
Konstitusi kita, Undang-Undang Dasar (UUD)
1945, sudah menjamin hak atas pendidikan bagi semua, tak terkecuali.
Untuk itu negara
harus menjamin hak semua warga negara tanpa terkecuali untk mendapatkan
pendidikan yang layak. Namun tak dipungkiri bahwa realitanya ternyata ada
sebagian golongan, pendidikan masih menjadi barang keramat yang sulit dijamah.
Jika diibaratkan, pendidikan kita masih menganut politik belah bambu, di mana
ada sebagian anak atau siswa yang diangkat tinggi-tinggi dan mendapatkan
fasilitas pendidikan yang sangat memadai, sementara di sisi lain, ada anak yang
justru sengaja diinjak, dibenamkan dan dijauhkan dari pelayanan pendidikan.
Pendidikan tak ubahnya menjadi barang mewah dan mahal, yang bagi kaum ini,
dirasa bagai pungguk merindukan bulan. Hanya saja, beberapa kasus bisa mencuat
ke publik, karena ada keberanian dari siswa dan orangtua yang bersangkutan untuk
menuntut perlakuan yang sama di dunia pendidikan. Selebihnya, mereka cenderung
diam dan pasrah oleh keadaan, tanpa tahu harus berbuat apa-apa. Terlebih lagi,
mereka yang berasal dari keluarga miskin dan tak punya “orang pengaruh”, “orang
dalam”. Mereka harus rela mengubur dalam-dalam keinginan untuk bisa belajar di
sekolah-sekolah favorit, bahkan sekolah umum.
Siapa yang mesti disalahkan?
Pertama yang mesti dilakukan adalah merubah
cara pandang atau paradigma berpikir dari seluruh komponen yang terlibat di
dunia pendidikan. Mulai dari kepala sekolah, guru, siswa, orangtua, pemerintah
dan masyarakat pada umumnya. Contohnya sampai detik ini, ketika menilai sekolah
atau keberhasilan siswa selalu dilihat dari prestasi akademisnya. Maka, yang
dikejar mulai dari input, proses hingga outputnya adalah angka-angka atau
nilai-nilai yang bisa mendulang peringkat bagi sekolah tersebut. Tidak heran,
jika banyak sekolah masih melakukan penyeleksian secara ketat pada calon
siswanya, terutama hanya pada aspek kepintaran akademis atau kecerdasan
intelektual (IQ). Tidak hanya itu, lebih parah lagi jika ketika ujian nasional
(UN) sudah menghadang, sekolah mengambil kebijakan untuk melakukan penyaringan
terselubung. Sungguh, sebuah prestasi dan kebanggaan yang diraih dengan cara
instan. Itulah cerminan pendidikan yang eksklusif, bukan inklusif. Jika
demikian tipe pendidikan kita masih menganut sistem
tebang pilih. Pendidikan tak ubahnya merupakan barang mahal dan mewah yang
setiap anak tidak bisa merasakannya. Padahal setiap warga negara berhak
memperoleh pendidikan yang sama, harus jauh dari tindakan diskriminatif,
termasuk mereka yang cacat fisik atau mental. Seharusnya segala bentuk praktik
eksklusivitas di dunia pendidikan harus dihapuskan dari semua jenjang
pendidikan mulai dari pendidikan usia dini (PAUD) hingga perguruan tinggi. (EL)
Komentar
Posting Komentar