Pendidikan Karakter: Bagaimanakah Peran Praksis Sekolah?



Tulisan saya ini sebenarnya terinspirasi dari tulisan Topo Santoso yang dimuat dalam kolom Opini Kompas 16 Juli 2016 dengan judul “Hilangnya Karakter”. Dalam uraiannya Topo Santoso secara gamblang menelaah gagalnya rezim pemerintah saat ini dalam merekrut hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Efek dari kegagalan itu secara real tampak pada fenomena krusial di mana  para hakim yang terpilih terjaring pada praktek suap menyuap (korupsi). Hal ini merupakan sebuah gejalah yang problematis. Masa pelaku pemberantas korupsi juga mempraktekan tindakan korupsi? Sebuah kredibilitas publik yang sangat disayangkan. Hal ini perlu disikapi secara serius jika tidak optimisme publik terhadap upaya rezim untuk memberantas tindak pidana korupsi semakin anjlok. Lalu apa solusi praktisnya? Dalam tulisannya penulis menekankan pentingnya proses atau tahapan penyeleksiannya. Para hakim tipikor yang dipilih harus memiliki selain kapasitas, intergritas yang mumpuni tetapi lebih penting memiliki karakter sebagai orang kepercayaan masyarakat. Hal ini berangkat dari kenyataan bahwa bahwa hakim tipikor yang terpilih cenderung pudar karakternya sebagai anak bangsa dan makluk religious di mana mempunyai patokan atau rujukan utama bagi hidupnya. Efeknya berimbas pada perilaku mereka yang mudah terjerumus pada tindakan-tindakan yang bertentangan dengan norma dan harapan-harapan yang diembankan masyarakat kepada mereka. Menjadi pertanyaan apakah pudarnya karakter dengan jenis demikian juga menggerogoti generasi bangsa di zaman sekarang dengan segala profesi dan jabatannya? Dan bagaimana memulai pembenahannya secara praksis?  

Karakter Generasi Bangsa: Sebuah Keprihatinan

Berbicara tentang pembenahan karakter generasi bangsa zaman ini memang tidak mudah apalagi berhadapan atau menyaksikan karakter generasi bangsa kita yang sedang ambigu. Pada kenyataannya kebanyakan generasi zaman ini berjalan di lorong yang gelap dan berlari tanpa teman dalam kompetisi. Tampaknya, karakter generasi bangsa lebih banyak dimiliki oleh pribadi-pribadi "pragmatis" dan “apatis” dalam lingkup keluarga dan masyarakat. Sungguh, semua sulit dianalisa, diucapkan dan dikendalikan. Memang ini adalah realitasnya. Masing-masing berjalan sesuai egonya tanpa sekalipun mengkuatirkan dampak dari fenomena ini kedepannya. Singkat kata, masing-masing urus diri sendiri atau cenderung “individualistik”,  sehingga nasib anak bangsa masih dinomorduakan.  Buruh-buruh "taat" takut gajinya dipotong semena-mena. Pedagang kecil juga lesu karena berdagang hanya cukup memutarbalikkan uang atau modal sehingga harus bermain harga alias menipu pembeli. Pemilik mall  yang lebih mementingkan gengsi dan investasi. Pengunjung mall menunjukkan wajah "tak bahagia" karena barang-barang naik drastis. Sopir kendaraan lesu dikejar setoran sehingga kadang melakukan pungutan-pungutan liar bahkan bersifat memaksa. Para kontraktor yang berjuang untuk mendapatkan tender walau harus lewat suap-menyuap. Para dewan yang sibuk urus perda tapi masih harus tunggu uang duduk. Para PNS yang lebih suka begadang (gosip-gosipan), shopping daripada betah di meja kerja untuk menyelesaikan pekerjaan yang menjadi tugasnya.  Pelaku-pelaku pemberdaya masyarakat yang sering mengarang atau memalsukan data (ABS:asal bapak senang) hanya untuk mendapatkan dana yang besar atas nama pemberdayaan sekaligus lebih banyak mengisi kantongnya sendiri. Penyelewengan dana BOS oleh oknum kepala sekolah atau guru tertentu. Masih membudayanya intoleransi agama yang cenderung memperkeruh tatanan keberagaman yang sudah terbina baik. Dan masih banyak perilaku-perilaku individualistis yang cenderung menunjukkan semakin pudarnya karakter generasi bangsa di zaman ini.

Selain itu kondisi saat ini, masyarakat juga merasa takut dan kuatir, karena ancaman sudah masuk ke ruang-ruang privasi dan cenderung di luar dugaan akal sehat. Begitulah, situasi hidup yang membayangi hari-hari setiap orang dan unsur masyakat kita, mulai dari birokrat, pebisnis, ulama, polisi, pendidik, tenaga pendidik, praktisi, siswa, mahasiswa dan sebagainya. Kegelisahan ini mengindikasikan bahwa bangsa Indonesia sekarang sedang mengalami sakit terutama dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.  Kita harus sadar bahwa dahulu Indonesia memiliki nenek moyang yang ramah tamah dan sangat santun dalam berelasi dengan sesama dan kehidupan kesehariannya. Tetapi mengapa hingga ke belakang (saat ini), nilai itu pudar semua? Australia, suku asli Aborigin, mereka jauh tidak beradap dan jauh lebih brutal dari nenek moyang kita, tetapi kini mereka masuk dalam kategori negara yang sangat teratur dan tingkat kehidupan yang cenderung makmur. Tentu kondisi ini sangat memprihatinkan bagi bangsa kita. Masyarakat kita hari ini dikenal sebagai warga yang enggan bekerja keras dan berkarya secara kontruktif. Masih banyak mereka yang meremehkan mutu, suka mencari jalan pintas, tidak percaya diri, tidak disiplin, dan kurang bertanggungjawab. Ada juga mereka yang berpandangan feodalisme, suka pada hal-hal yang bersifat mistik, irasional, emosional tak terkendali, mudah diprovokasi, cenderung ingin meniru gaya hidup orang asing dan bergaya hidup mewah. Kondisi bangsa seperti ini tidak semata-mata muncul dari individu-individu, tetapi sudah mulai menjelma pada tatanan kelompok-kelompok, dari situasi kedirian sampai ke situasi lingkungan kelompok. Tentu saja, sebagai bangsa yang berdaulat dan terkenal pluralistiknya keadaan ini sangat perlu diwaspadai bersama. Tanggung jawab semua ini, harus dipikul oleh kita semua, setiap warga bangsa Indonesia.

Sekolah Harus Ambil Peran

Lalu bagaimana kita memulainya? Bagi saya kita harus mulai dari dasarnya yaitu pendidikan karakter. Mendidik karakter memang bahasan yang unik. Mengapa unik? Karena bahasan ini bisa “lari” kemana-mana bila kita membahas tentang manusia. Dan masalah tentang manusia adalah pekerjaan yang tidak ada habisnya, dari manusia lahir hingga meninggal banyak kejadian ajaib serta memalukan terjadi dalam kehidupannya. Manusia adalah faktor penting dalam menciptakan kehidupan yang baik. Kehidupan yang baik dan sejahtera itu dapat dibentuk dan diciptakan. Pertanyaannya bagaimana membentuknya? Mau atau tidak mau dunia pendidikan formal (sekolah) selain keluarga dan lingkungan masyarakat harus menerima fakta dan sindiran tersebut dan mengubahnya menjadi tantangan untuk memperbaiki atas “kekurangan” dunia pendidikan.  Pendidikan di sekolah sedari awal memang perlu memproduk manusia Indonesia yang beretika, bermoral dan berkarakter. Harus diakui pula, bahwa kejadian yang menghantui perilaku hidup generasi bangsa secara beruntun ini seolah bom waktu bagi pendidikan karakter agar betul-betul menyumbangsumbangsih perubahan wajah pendidikan kita. Pendidikan karakter diharapkan menjadi alternatif solusi bagi perbaikan SDM  bangsa ini dan menjiwa dalam sistem pendidikan.  Mampukah pendidikan karakter menjiwai sistem pendidikan kita? Memang membentuk siswa yang berkarakter bukan suatu upaya mudah dan cepat. Hal tersebut memerlukan upaya terus menerus dan refleksi mendalam untuk membuat rentetan Moral Choice (keputusan moral) yang harus ditindaklanjuti dengan aksi nyata, sehingga menjadi hal yang praktis dan reflektif. Diperlukan sejumlah waktu untuk membuat semua itu menjadi custom (kebiasaan) dan membentuk watak atau tabiat seseorang. Menurut Helen Keller (manusia buta-tuli pertama yang lulus cum laude dari Radcliffe College di tahun 1904) “Character cannot be develop in ease and quite. Only through experience of trial and suffering can the soul be strengthened, vision cleared, ambition inspired, and success achieved”.

Selain itu pencanangan pendidikan karakter tentunya dimaksudkan untuk menjadi salah satu jawaban terhadap beragam persoalan bangsa yang saat ini banyak dilihat, didengar dan dirasakan, yang mana banyak persoalan muncul yang diindentifikasi bersumber dari gagalnya pendidikan dalam menyuntikkan nilai-nilai moral terhadap peserta didiknya. Hal ini tentunya sangat tepat, karena tujuan pendidikan bukan hanya melahirkan insan yang cerdas, namun juga menciptakan insan yang berkarakter kuat. Seperti yang dikatakan Dr. Martin Luther King, yakni “intelligence plus character that is the goal of true education” (kecerdasan yang berkarakter adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya).

Akhirnya bagaimana mewujudkan pendidikan karakter yang berkualitas di sekolah? Pendidikan karakter melalui sekolah, tidak semata-mata pembelajaran pengetahuan semata, tetapi lebih dari itu, yaitu penanaman moral, nilai-nilai etika, estetika, budi pekerti yang luhur. Dan yang terpenting adalah praktekkan setelah informasi tersebut diberikan dan lakukan dengan disiplin oleh setiap elemen sekolah. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk merealisasikan pendidikan karakter di sekolah. Konsep karakter tidak cukup dijadikan sebagai suatu poin dalam silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran di sekolah, namun harus lebih dari itu, dijalankan dan dipraktekan. Mulailah dengan belajar taat dengan peraturan sekolah, dan tegakkan itu secara disiplin. Sekolah harus menjadikan pendidikan karakter sebagai sebuah tatanan nilai yang berkembang dengan baik di lingkungan sekolah yang diwujudkan dalam contoh dan seruan nyata dalam keseharian kegiatan di sekolah. (EL)





Komentar

Postingan populer dari blog ini

REKOLEKSI ala GEMADORA Kupang (Sebuah Catatan Kisah)

MADING SEKOLAH: Wadah Praktis dan Kreatif untuk Mengasah Kemampuan Menulis