Tulisan saya ini sebenarnya terinspirasi dari tulisan Topo Santoso yang dimuat dalam kolom Opini Kompas 16 Juli 2016 dengan judul “Hilangnya Karakter”. Dalam uraiannya Topo Santoso secara gamblang menelaah gagalnya rezim pemerintah saat ini dalam merekrut hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Efek dari kegagalan itu secara real tampak pada fenomena krusial di mana para hakim yang terpilih terjaring pada praktek suap menyuap (korupsi). Hal ini merupakan sebuah gejalah yang problematis. Masa pelaku pemberantas korupsi juga mempraktekan tindakan korupsi? Sebuah kredibilitas publik yang sangat disayangkan. Hal ini perlu disikapi secara serius jika tidak optimisme publik terhadap upaya rezim untuk memberantas tindak pidana korupsi semakin anjlok. Lalu apa solusi praktisnya? Dalam tulisannya penulis menekankan pentingnya proses atau tahapan penyeleksiannya. Para hakim tipikor yang dipilih harus memiliki selain kapasitas, intergritas yang mumpuni tetapi lebih penting memiliki karak
Komentar
Posting Komentar