“Sepenggal Refleksi dari Tanah Marapu”




Tak terasa satu tahun masa orientasi pastoral sudah selesai. Masa yang bagi saya menyimpan sejuta kenangan indah. Kenangan bersama Tuhan yang hadir dalam kesederhanaan, hadir dalam suka duka hidup beriman umat di ujung timur tanah Marapu, tepatnya di paroki St. Andreas Ngallu, Sumba Timur. Secara pribadi saya bangga menjadi bagian dari hidup mereka. Bersama mereka kami berjuang menjaga dan merawat benih iman kekatolikan yang masih belia. Memang tidak mudah karya iman ini. Berhadapan dengan situasi umat yang masih bergelut dengan tetek bengek persoalan kehidupan menggereja, sosial, budaya, ekonomi kadang-kadang melemahkan semangat saya dalam berpastoral. Bahkan pengennya tugas ini segera berakhir. Berat rasanya mengabdi di tanah yang masih kuat berakar budaya tuan dan hamba ini.

Bertahan demi Sebuah Pelayanan…..
Waktu terus berjalan membingkai hari-hari pastoral saya di tanah yang terkenal dengan keindahan panorama pantai dan tenun ikat Kaliudanya. Dengan kemampuan yang terbatas saya mencoba menikmati dan berjuang untuk merealisasikan program-program kerja pastoral yang telah saya rencanakan sebelumnya. Berkat keseriusan dalam mengemban setiap tugas dan karya pastoral yang dipercayakan kepada saya, akhirnya perlahan demi perlahan mengubah karakter diri saya yang awalnya pantang menyerah; kalah sebelum bertanding. Senyum sapa, kesederhanaan, keluguan dan perhatian yang tulus dari umat setempat, memotivasi saya untuk semakin mencintai dan melayani mereka lewat karya-karya pastoral. Faktor-faktor ini membuat saya semakin betah untuk tinggal bersama mereka bahkan untuk lebih lama lagi dengan situasi hidup iman yang mereka alami.
Pada umumnya saya menyadari berpastoral di paroki St. Andreas Ngallu memang sulit. Keterbatasan sarana, kesulitan medan pastoral, sifat dan karakter umat yang belum begitu peka akan kehidupan menggereja, budaya tuan-hamba yang masih mengikat kuat adalah tantangan-tantangan atau faktor-faktor yang mempersulit karya pastoral saya. Sakit hati, perasaan kecewa, marah, jengkel kadang membingkai hari-hari pastoral saya. Tapi semua perasaan ini tidak saya ungkapkan secara langsung. Saya mencoba bersabar dan tenang mengolah semua perasaan ini agar tidak menjadi batu sandungan yang berakibat pada kemandekan umat untuk tetap terlibat dalam kegiatan-kegiatan menggereja. Kenyataan yang saya hadapi ini juga tidak membuat saya menghindar tapi berusaha mengolahnya secara matang dan dewasa agar paling tidak program pastoral yang saya rencanakan dapat berjalan dan diterima baik.

Terlibat dalam Situasi Umat

Keadaan dan situasi menggereja umat juga mendesak saya agar terlibat langsung. Saya mencoba memainkan tanggungjawab ini dengan serius. Walaupun tidak banyak dan istimewa karya pastoral yang saya buat tapi toh saya yakin punya arti bagi hidup menggereja mereka. Paling tidak ada sesuatu yang baru yang saya buat. Saya juga yakin benih baik pastoral yang telah ditaburkan akan tetap tumbuh dan membekas dalam memori hidup mereka. Harapan saya semoga benih baik ini di suatu saat akan memotivasi mereka untuk meninggalkan habitus lama hidup mereka dan mengenakan habitus baru di dalam hidup bermasyarakat secara khusus hidup menggereja.  Kapan dan di mana saatnya pasti akan terjadi karena rencana Tuhan selalu indah pada waktunya.
Kedekatan saya dengan umat bukan hanya kedekatan secara fisik tetapi juga kedekatan secara emosional. Kadang saya terlarut dalam impian-impian mereka untuk membuat kualitas hidup iman mereka semakin mantap dan matang di tengah gejolak hidup menggereja dan sosial kemasyarakatan yang mereka alami. Tapi apa mau dikata semuanya hanyalah impian. Kenyataannya mereka sendirilah yang menjerat diri mereka untuk tetap terpaku pada habitus lama hidup beriman mereka. Perjuangan mereka hanya sebatas kata, tidak ada implementasinya.


Segelumit Harapan…..

Melihat kenyataan ini timbul pertanyaan reflektif.  Sampai kapankah kemauan, impian, cita-cita umat untuk semakin mantap dan matang dalam hidup iman apabila tidak ada usaha dari diri mereka sendiri?  Sepertinya usaha ini tidak semudah membalik telapak tangan. Mereka tidak bisa berjalan dan berjuang sendiri. Mereka sangat membutuhkan tangan-tangan yang selalu menggandeng dan menuntun mereka untuk mencapai impian dalam hidup beriman mereka. Ibaratnya benih-benih bunga yang disemaikan di sebuah taman. Benih-benih itu tidak dapat bertumbuh subur bahkan akhirnya menjadi layu dan mati apabila tidak ada orang yang menjaga dan merawatnya. Dan kalaupun bertumbuh kemungkinan kecil tidak menjadi sebatang pohon bunga yang kokoh dan kuat. Ia akan jatuh tertidur ketika badain alam menghempas.
Paroki St. Andreas Ngallu adalah taman itu. Ia adalah taman iman karena telah ditanami benih-benih iman kekatolikan. Karena benih-benih iman ini sudah di tanam maka selayaknya ia harus dijaga dan dirawat dengan karya-karya gereja setempat yang tepat sasar. Memang usaha ini tidak mudah. Harus membutuhkan waktu, proses yang cukup panjang yang senantiasa dibarengi dengan perjuangan dan pengorbanan yang ekstra.
Dibalik semuanya ini yang merupakan hal paling penting diperhatikan adalah bahwa  keberhasilan karya pastoral demikian tidak hanya meluluh mengandalkan kekuatan secara perorangan tetapi membutuhkan kerjasama dengan sesama yang lain sebagai partner kerja. Kekuatan dan campur tangan Allah juga tidak dikesampingkan. Karena manusia memang punya rencana tetapi Tuhanlah yang menghendaki semuanya dapat terjadi. Dengan demikian segala usaha dan perjuangan berpastoral dapat berhasil baik jika kehendak dan perkara Tuhan dinomorsatukan bukan kehendak dan perkara manusia. Hal ini senada dengan kata pemazmur; “Jikalau bukan Tuhan yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya”(Mzm 127:1).

Eddy Lamawato, Fr



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendidikan Karakter: Bagaimanakah Peran Praksis Sekolah?

REKOLEKSI ala GEMADORA Kupang (Sebuah Catatan Kisah)

MADING SEKOLAH: Wadah Praktis dan Kreatif untuk Mengasah Kemampuan Menulis