Generasi Problem Solver
Tak dapat kita
pungkiri bahwa sederet masalah kekerasan telah mendera hidup bahkan sering
menjadi karakter generasi muda kita. Tawuran, perkelahian, saling memfitnah,
pengkroyokan, membully, pemukulan guru maupun dosen, pembunuhan, demo
anarkis, pemerkosaan dan lain-lain sebagainya itulah mental karakter generasi
muda yang lazim terjadi. Yang masih berstatus anak sekolah baik di tingkat SD,
SMP, SMA juga telah berani melanggengkan kebiasaan dan karakter ini. Apalagi di
tingkat perkuliahan lebih doyan memunculkan praktek ini. Yang sangat
memprihatinkan kadang dorongan untuk melakukan kekerasan seperti ini atas dasar
kemauan dan inisiatif sadar dari mereka sendiri. Bahkan masalah yang sama terulang
lagi tanpa ada solusinya. Budaya diskusi mulai diasingkan bak penyakit menahun
yang harus dikucilkan. Permasalahan itu akhirnya membentuk karakter generasi
kita sebagai generasi penabur masalah daripada sebagai generasi penyelesai
masalah, generasi problem
solver. Apakah setiap
persoalan atau permasalahan harus berakhir dengan kekerasan tanpa ada solusinya?
Setiap masalah
pasti ada solusinya. Ketika dihadapkan pada salah satu contoh persoalan atau
permasalahan apapun pengetahuan dan keterampilan dalam mengasah kemampuan
memecahkan masalah menjadi penting. Sekolah sebagai wadah pendidikan penyemai
pengetahuan dan keterampilan perlu menjadi opsi ini. Pendidikan dasar sampai
menengah pada esensinya perlu disiapkan sebagai lahan untuk menyemai
bibit-bibit pembiasaan memecahkan suatu masalah (problem solving) dengan
cara-cara yang tepat, bijak, kreatif dan manusiawi. Wadah pendidikan sudah
waktunya sedini mungkin menghasilkan generasi-generasi terdidik yang
berkehendak sebagai problem
solver.
Secara praksis bagaimana
mengkonstruksikan upaya melanggengkan pembiasaan karakter problem solver bagi generai usia sekolah?
Jangan pikir
terlalu jauh, pembiasaan problem
solving bisa dimulai di kelas
baik antara guru dengan murid maupun murid dengan murid yang dipandu guru dalam
kegiatan belajar mengajar. Untuk mewujudkan pembiasaan itu, menurut Matthew
McKay, diperlukan pendekatan komunikasi yang bersifat kooperatif daripada otoriter
atau permisif. Kooperatif maksudnya kekuasaan terletak pada orang dewasa (dalam
hal ini guru) dan anak (murid), sedangkan otoriter kekuasaan terletak pada guru
dan permisif kekuasaan terletak pada murid. Komunikasi yang bersifat
kooperatif ini akan membuka ruang diskusi. Yang penting komunikasi yang
dibangun disesuaikan dengan kemampuan berbahasa dan daya tangkap mereka. Dengan
demikian sulitnya materi yang dipelajari dapat dipahami secara baik di mana
mereka sendiri menjadi problem
solver-nya. Kebiasaan seperti ini harus dipupuk terus menerus menjadi
sebuah habitus sehingga ketika berhadapan persoalan di luar sekolah karakter problem solver tetap menjadi landasannya. Motivasi
tersebut perlu diupayakan lebih keras mengingat pendidikan seperti ini dapat
menyumbangkan keuntungan yang tak ternilai harganya terhadap pembentukan
generasi muda bangsa ini. Untuk itu orientasi pendidikan perlu mengedepankan
arti penting kerja sama dari pada kompetisi atau agresi, kesetaraan,
kedewasaan, tanggung jawab, kreativitas, visi jangka panjang, dan yang paling
penting memanusiakan manusia. Sekali lagi, sumbangan pendidikan harus
melahirkan generasi-generasi yang berkarakter problem solver. Impian ini
hanya bisa diwujudkan melalui pendidikan yang berorientasi pada pemecahan
masalah bukan pembungkus dan perumit masalah. (EL)
Pemuada harus menyadarinya
BalasHapus