Dampak Media: Tanggungjawab Siapa? (Sebuah Catatan Kontradiktif)
Lemah dan
rendahnya karakter (budi
pekerti) anak didik merupakan sebuah persoalan
krusial yang terus diperbincangkan dari zaman ke zaman. Kadang muncul
pertanyaan klasik, siapa yang harus dipersalahkan? Menjawab pertanyaan ini
tentu sangat sulit dan setiap pihak yang dituduh dipastikan akan membela diri
dengan menyodorkan beberapa pembelaan secara apologik seraya mencari kambing
hitam.
Sampai saat ini,
upaya untuk membentuk budi pekerti yang luhur di sekolah-sekolah bukannya tidak
pernah dilakukan. Akan tetapi, pendidikan moral dan budi pekerti masih pada tataran teori dan pengetahuan semata belum masuk
dalam tataran praktik. Kemudian, lemahnya proses pendidikan moral
ini diperparah oleh lingkungan sekitar yang sepertinya tidak mendukung mereka
untuk menjadi orang baik. Penayangan sinetron yang tidak mendidik, penyebaran
video porno di beberapa situs-situs internet yang tak terkontrol, hingga
kurangnya pengawasan orangtua terhadap anak. Eksploitasi besar-besaran oleh
media dengan pemberitaan pejabat korupsi, artis terlibat narkoba, kejahatan
seksual, dan pejabat yang mempertontonkan konflik membuat anak-anak kehilangan
figur yang semestinya dapat mereka teladani. Akibatnya, masyarakat mulai
mengabaikan nilai-nilai norma dan agama, sehingga memicu pertumbuhan krisis
moral lebih pesat.
Selain itu
pengaruh perkembangan
teknologi juga kini mencengkeram karakter anak misalnya penggunaan handphone. Kini beragam handphone yang memiliki fitur internet atau kamera, hingga
membuat anak-anak mudah mengakses gambar porno atau kekerasan. Terlebih dengan
menjamurnya warnet-warnet yang tak membatasi akses untuk anak-anak. Kemudian,
banyak orangtua yang tak mau tahu urusan anaknya. Hal ini dapat membuat anak
tumbuh dengan kebebasannya untuk mempergunakan media-media ini di luar norma misalnya menyimpan
video porno dan mesum lainnya. Bahkan lebih ekstrim lagi mereka berani
memublikasikan video-video ini sehingga membuat heboh di masyarakat. Tingkat
kepedulian masyarakat pun semakin berkurang. Mereka seperti tidak peduli dengan
apa yang dilakukan oleh anak-anak di sekitarnya, karena mungkin sibuk dengan
urusan masing-masing. Sikap dan
tindakan anak-anakpun akhirnya lepas kendali sehingga terjadi degradasi moral
dalam wujud tindakan asusila pun dianggap lumrah. Tradisi maksiat jadi
kebanggaan dan kenakalan remaja dianggap biasa. Bahkan mengenai tindakan-tindakan penyimpangan, masyarakat kadang ber-apologi dengan
mengatakan, “sudah zamannya”.
Bertitik tolak pada kompleksnya faktor
penyebab problem sosial ini maka penyelesaiannya tidak hanya menjadi
tanggungjawab lembaga-lembaga pendidikan saja, tetapi memerlukan gerakan
multipihak antara peran lembaga pendidikan, pemerintah, agamawan, orang tua,
dan masyarakat. Semuanya harus bergerak dengan gerakan yang dapat melahirkan
persepsi bahwa nilai moral lebih tinggi dari sekedar pengetahuan semata. (*)
Komentar
Posting Komentar