“Aku Pasti Kembali” (Coretan Pengalaman Pribadi)
Mentari pagi telah menampakkan raga yang
segar. Kesegarannya mempesona alami membangkitkan naluri-naluri alam untuk
bertumbuh. Amazing! Kuncup-kuncup bunga di taman pun tak kalah segarnya
memamerkan keindahan. Perpaduan dua fenomena alam ini mengisyaratkan pada dunia
pada hidup ini selalu indah jika ada cinta yang saling melengkapi. Aku pun
jadinya tersentak. Dari tirai jendela kamarku kutatap cerita alam ini dengan
rasa yang mendalam. “Seandainya aku adalah matahari dunia akan selalu
membutuhkanku. Tapi layakkah aku menjadi manusia yang berguna bagi banyak
orang? Aku kan anak desa tinggal pun di desa terpencil mungkinkah ini terjadi?
Mustahil ah…. Pagi itu hanya diam membisu tapi kesegaran matanya memberikan
rasa optimis yang besar maka segala sesuatu yang mungkin bisa menjadi mungkin.
Dalam diam akupun terseret dalam lamunan. Gemerisik dahan-dahan mangga di atap
rumah yang terseret angin pagi tak sedikit pun membuyarkan khayalanku. Di balik
jeruji jendela kamar mataku menerawang jauh. Pagi itu aku bagaikan patung Plato
yang termenung dengan dahi berkerut dengan tatapan mata yang rumit.
“Eddy, sudah bangun belum sekarang sudah
jam 7 kita harus berangkat takutnya terlambat kapal”. Ya memang pagi ini
aku dan ayahku harus berangkat ke pulau seberang mau menuju tempat pendidikan
yang baru. Sekolah menengah pertama. Sebenarnya aku mau masuk sekolah menengah
pertama negeri di kampungku tapi karena aku ingin juga mengikuti jejak
kakak-kakakku di mana semuanya sekolah di kota. Alasan lain karena aku ingin
membuktikan diri bahwa kami anak kampung juga mampu bersaing di bidang akademi.
Apakah mungkin? Kemungkinan itu dalam proses. Kemungkinan itu masih dalam
perjuangan. Namun optimisme akan kemampuan untuk berkompetisi punya landasan
yang kuat. Pengalaman yang aku alami menggarisbawahi demikian. Ya memang
demikian. Aku masih teringat pengalamanku di beberapa bulan yang lalu. Pada
waktu itu aku dan kedua teman yang lain dipercayakan mewakili sekolah untuk
mengikuti Cerdas Cermat P4 antar sekolah sekecamatan. Secara mental memang kami
kalah karena memang kegiatan seperti baru pertama kami ikut. Namun karena
berkat bimbingan guru pendamping yang memang mempercayai kemampuan kami maka
rasa optimis untuk memenangkan perlombaan ini sangat kuat. Usaha kami pun tidak
sia-sia. Dari ajang perlombaan itu kami ditetapkan sebagai juara pertama dan
dipercayakan mewakili kecamatan kami untuk berlaga di kabupaten. Ada kebanggaan
yang luar biasa. Ini prestasi yang jarang diraih sekolah kami. Berbekalkan
persiapan apa adanya kami siap memanggul kepercayaan ini. Dalam perlombaan di
level lebih tinggi mental kami juga teruji. Hal ini wajar karena kami harus
bekompetisi dengan sejumlah sekolah yang memiliki prestasi yang lebih unggul.
Sedangkan sekolah kami baru pertama kali berkompetisi di perlombaan pada level
ini. Hmmmmm boleh dikatakan jam terbang masih minim. Maklumlah sekolah-sekolah
di kampung. Semua hal serba kurang. Apa ini takdir atau memang kepekaan
orang-orang penting untuk memperhatikan sepak terjang sekolah-sekolah di
kampung sangat minim. Maka tidak heran nasib sekolah-sekolah kampung tetap
tertinggal bahkan semakin terpuruk. Bagaimana dengan nasib sekolah-sekolah di kampung
pada zaman sekarang? Apakah situasinya masih sama atau memang sudah ada
perubahan? Semoga pertanyaan ini bisa menyentak hati semua pihak yang
berkepentingan agar peka terhadap nasib sekolah-sekolah di kampung.
Waktu itu untuk sampai di tempat
pendidikan itu juga tidak mudah. Jarak tempuhnya lumayan jauh. Perjalanan harus
menyeberangi laut dengan menumpangi perahu-motor. Waktu itu perahu-motor pun
masih sangat terbatas. Maka tidak heran para penumpang yang mau menyeberang ke
kota harus datang sesuai jadwal keberangkatan yang sudah ditetapkan. Kalau
tidak mereka akan ketinggalan. Bukan hanya itu terkadang para nahkoda mengubah
secara tiba-tiba jadual keberangkatan karena disesuaikan dengan gelombang laut.
Karena di musim-musim tertentu gelombang laut pun tak bersahabat apalagi ketika
mengarungi ganasnya arus Gonzalu yang terkenal arus Ole dan Wuranya. Namun bagi
sebagian masyarakat di daerahku Gonzalu tetap menjadi lahan mata pencahrian
mereka. Lahan mencari ikan dan lahan mencari uang. Usaha ini mereka tetap
digeluti dari generasi ke generasi walaupun nyawa menjadi taruhannya. Kondisi
hidup demikian pada akhirnya menempa karakter mereka sebagai orang-orang
pemberani, pekerja keras dan tak takut mati. Secara logika memang tidak masuk
akal. “Kok pekerjaan yang mudah merenggut nyawa disahabatin? Tetapi itulah
kerasnya hidup. Tak ada hidup yang mudah diraih tanpa melalui sebuah
perjuangan. Butuh keuletan dan kerja keras”.
“Eddy ayo siap kita harus segera
berangkat”. Ku dengar suara ayahku memanggil lagi. Suara itu cukup menggelegar
kencang. Sepertinya ayahku lagi tidak tenang menunggu aku yang belum keluar
dari kamar. Aku pun tersentak kaget. Segera kurapihkan tempat tidur dan menuju
kamar mandi. Sesegera mungkin aku mandi. Biasanya aku lama sekali di kamar
mandi waktu mandi tapi kali aku harus paksakan diri untuk secepatnya mandi.
Karena memang waktu tidak memungkinkan lagi. Takutnya kami terlambat dari
perahu motor (KM) yang akan kami tumpangi menuju kota seberang pulau. Kota yang
menjadi impian anak-anak kampung di hari-hari libur. Kota yang menjadi ikon
pariwisata religious bumi NTT. Kota yang menjadi jalan (laran), poros utama
(tukan) persinggahan bangsa asing di tempo dulu. Ya kota Larantuka namanya.
Nama yang menyimpan sejuta kenangan tentang cinta, sejarah, iman dan budaya.
Pagi pun mulai menelanjangi raganya. Di
sebelah timur dari celah bahu Ile Boleng mentari mulai perlahan menampakkan
pesonanya. Kulihat ayahku sudah bergegas pergi ke jalan raya sembari memanggil
namaku. “Eddy cepat sedikit nanti kita terlambat”. Seruan yang sama keluar lagi
dari mulut ayahku. Sepertinya ayahku punya pengalaman yang tidak enak dengan
keterlambatan ini. Akupun segera mengambil tas ransel pakaianku yang telah
kusiap tadi malam dan bergegas menuju mama dan adikku yang telah menunggu
dipintu depan. Aku pun langsung bersalaman dengan mama dan adik bungsuku.
Di momen inilah perasaan haru memeluk sadarku. Aku harus pamit dari kebersamaan
ini. Aku harus terpisah dari ayah, ibu dan adik bungsuku. Aku juga harus
meninggalkan pekerjaan harianku selama ini pada adik bungsuku. Terlepas dari
mampu atau tidak mampu adikku menjalankan ini semua, aku selalu ingin
bersamanya. Bekerja sambil cerita dan bersenda gurau ala kami. Mataku mulai
sayup memandang ibu dan adikku pertanda rasa kesedihan semakin berjolak.
“Jangan sedih. Di libur sekolah pasti kita akan bertemu lagi, “ujar mamaku
sambil memelukku. Namun kata-kata ibuku tak kuasa menopang kelopak mataku
ketika aku beradu tatap dengan adikku. Kulihat adikku cuma diam. Aku tahu ia
merasa kehilangan. Aku segera menghampiri dan memeluknya. Tak ada satu kata pun
terlontar dari mulutku. Aku pun bergegas menuju ayahku yang sudah beberapa
menit menunggu. Namun ada penggalan kalimat yang cukup menyentak pikiranku
ketika bersalaman dengan mamaku. “No, mama ada sisip uang 500 ribu di saku
samping tas ransel. Itu uangmu. Uang ini adalah hasil dari jambu mente yang
kita timbang kemarin. Pakailah uang itu untuk beli kebutuhan tambahan yang kamu
butuhkan nanti. Mama tidak bisa beri lebih banyak lagi karena sebagian uang
sudah mama beri sama ayahmu untuk bayar uang kos dan kuliah kakak-kakakmu. Mama
hanya pesan jaga diri baik-baik di sana. Dari jauh kami hanya panjatkan doa
semoga bisa bertahan. Jangan terlalu pikiran dengan kami di sini, kami akan
selalu baik-baik. Fokuslah pada pendidikan di sana karena hidup di kota tidak
gampang. Jagalah pergaulan karena pergaulan di kota sudah lebih bebas. Jaga
dirimu baik-baik”. Kurekam kata-kata ibuku sambil menatapnya lama namun
sesekali melihat adik bungsuku yang berdiri di samping ibuku. Adik bungsuku
hanya berdiri terpaku sembari memandangku sedih. Dia sangat merasa kehilangan.
Aku sangat menyadari perasaan adikku itu karena semenjak kakak-kakakku yang
lain pergi melanjutkan kuliah hanya aku dan dia saja di rumah. Ambil air, cari
kayu api, beri makan babi, main bola kami berdua sering sama-sama. Boleh
dikatakan akulah yang menjadi teman setianya di hari-hari libur besar baik libur
sekolah maupun hari raya. Aku juga menatapnya lama sambil mengingat lagi
kata-kata yang diucapkan ibuku. Kata-kata ini seketika membuat mataku
berlinang. Tak tahu kenapa. Mungkin karena aku teringat akan kesungguhan dan
ketulusan mereka menjaga dan mendukung cita-cita saya ini semenjak di bangku
sekolah dasar ini. Akupun terseret dalam pergolakan rasa yang dalam antara
cinta akan cita-cita dan cinta akan keluargaku. Ini adalah resiko yang siap aku
hadapi jika saat itu akan tiba dan aku harus jalani. “Mampukah aku mewujudkan
semua harapan ini? “tanyaku dalam hati. Ini masih sebuah rahasia yang masih
terbungkus rapih antara harapan dan kenyataan. Rahasia yang sukar aku tebak
bagaimana akhirnya. Tetapi dalam hati aku tetap berprinsip semuanya adalah
proses. Aku siap melewati proses itu. Proses itu yang akan mematangkan rasa dan
cara pandangku. Aku pun merasa yakin walaupun masih dalam tahap awal.
“Eddy, ayo cepat nanti kita terlambat”. Kudengar suara ayahku memanggilku kembali. Kali ini nada suaranya sudah agak memaksa. Aku pun bergegas meninggalkan mama dan adikku. Tatapan Sebelum melangkah meninggalkan tangga rumahku dalam diam aku hanya menitipkan pesan “Tuhan kupasrahkan semua rencana dan cita-cita ini pada penyelenggaraan-Mu. Aku hanyalah anak kampung, polos, style apa adanya, pemalu tetap melekat kuat dalam diriku. Kalau ada perubahan mungkin soal cara pandangku yang lebih dewasa. Tapi semua perubahan yang ada tidak secara dominan mengubah karakterku sebagai anak kampung. Dalam diam kupasrahkan semuanya pada Tuhan, “Inilah aku Tuhan. Aku tahu Engkau sangat mengenal aku dengan segala kelebihan dan kekuranganku. Apapun yang Engkau kehendaki pada jalan hidup yang hendak aku tempuh ini kusiap terima apapun resikonya. Hanya satu pesanku, jagalah ayahku, mamaku dan adik bungsuku. Semoga mereka baik-baik di sini”.
Aku dan ayahku berlangkah jauh
meninggalkan jejeran rumah tua yang menghiasi kampung halamanku. Ayahku
berjalan lebih cepat walau harus membawa tas dan setengah karung pisang mentah.
Ya pisang mentah. Tentang pisang mentah atau istilah orang Larantuka pisang
boko ini merupakan ole-ole yang biasa dibawah anak-anak sekolah ketika pulang
liburan. Memang daerahku kaya akan pisang. Jadi ketika hari masuk liburan
setiap anak pasti ditangannya membawa sekantong atau sekarung pisang mentah.
Bahkan kalau terlalu berat pikulannya sering diantar saudara atau keluarga
mereka masing-masing. Pisang boko bisa dikatakan kekhasan daerah kami. Kalau
daearah Malang terkenal dengan apel Malangnya maka kami terkenal dengan pisang
bokonya. Walaupun sebutan pisang boko ini menjadi ungkapan sindiran untuk anak
kampung tetapi kami tidak merasa malu. Malu kenapa? Inilah kekhasan daerah
kami. Inilah salah satu kekayaan alam daerah kami yang dapat menghidupi
masyarakat kami sampai generasi kami ini. Maka jangan heran kalau berkunjung ke
kampungku pasti kita temukan jejeran pohon pisang nan hijau. Selain pisang
daerah kami juga banyak ditumbuhi pohon kelapa. Di pesisir pantai daerah kami
tumbuhan ini tumbuh begitu subur. Keberadaan tumbuhan ini juga memperindah
pesona pantai kami. Maka tidak heran karena banyaknya tumbuhan ini maka
daerahku merupakan salah satu daerah penghasil kopra. Selain dua tanaman
unggulan ini masih banyak lagi tanaman perdagangan lain yang memiliki nilai ekonomi
yang tinggi. Sehingga tidak mengherankan banyak orang luar daerah yang datang
mencari hidup di daerahku. Bahkan banyak yang sudah betah tinggal di daerahku
mungkin karena lahannya subur. Namun demikian kekayaan alamnya tidak didukung
dengan transportasi daratnya. Jalan-jalan pada waktu mungkin juga sampai
sekarang tidak pernah diurus secara baik. Pembangunan daerah kami sangat
tertinggal. Katanya sudah banyak orang yang sudah bersuara terkait hal ini tapi
hasil akhirnya tidak ada hasil. Sia-sia. Mungkin waktu itu kami tidak mempunyai
“orang-orang penting”, orang-orang pintar yang bisa menyuarakan keluhan-keluhan
ini. Sehingga semua tinggal sebagai keluhan belaka tanpa realisasinya. Imbasnya
pembangunan di daerah kami tetap terpojok. Masyarakatpun tidak bisa berbuat
apa-apa lagi. Mereka lebih banyak diam dengan namanya pembangunan. Mereka
cenderung mengiyakan saja pembangunan yang apa adanya. Itu bukan berarti
mereka dungu, bebal, bodoh tetapi mereka sudah trauma dengan semuanya. Tetapi
di dalam diri mereka masih tersimpan gejolak pemberontakan yang tertata rapih.
Di saat ini mereka hanya pasrah pada situasi. Namun dalam diri ada keyakinan
penuh dalam diri mereka suatu saat “hari baik itu” akan mereka alami. Generasi
masa depan mereka akan menjadi toko-toko idola baru yang mampu menyuarakan
nasib dan nama baik daerahnya. Semua harapan ini terpatri kuat dalam sanubari
mereka.
Di sepanjang jalan kudengar suara-suara
nyaris tak terdengar memanggiku. “Eddyyyyyyyyyyyyyy, semoga sukses di sana.
Kami menunggu kepulanganmu di waktu libur sekolah”. Ku palingkan wajah sejenak
ke arah suara-suara itu. Ternyata mereka adalah teman-teman sepermainanku.
Kutakbisa bersuara membalas. Kuhanya bisa melambaikan tangan sebagai bentuk
jawaban atas sapaan mereka. Pilu rasanya meninggalkan kebersamaan di kampungku
ini. Aku berusaha tegar karena semuanya demi cita-cita dan masa depan
kampungku.
Langkah semakin dipercepat. Di bawah
deretan pohon lamtoro kami menyusuri jalan berbatu, lumpur akibat genangan air
hujan yang mengguyur sepanjang malam. Sinar pagi pun mulai menyengat perlahan
membawa pergi aroma alam kampungku. Kubiarkan semuanya sampai aku kembali
mencecapi aroma itu lagi. Selamat tinggal kampungku. Aku pasti akan kembali
untukmu. (*)
Komentar
Posting Komentar