Jagalah Semangat Kebhinekaan Mulai dari Sekolah


Menjelang tanggal akhir pencoblosan pemilihan gubernur Propinsi DKI Jakarta masing-masing kandidat berusaha menarik simpati masyarakat Jakarta. Salah satu upaya dialogisnya  adalah melakukan pendekatan dengan tokoh-tokoh terkemuka, yang punya nama bahkan secara terselubung punya basis masa atau simpatisan. Pendekatan antar personal dalam payung politik ini pun dikemas dengan bahasa yang lebih santun oleh media, “berguru pada guru”.

Dari sekian banyak tokoh pun dikunjungi. Salah satu tokoh yang dikunjungi dan santer diberitakan  adalah mantan wakil presiden dan presiden RI, Bapak B.J. Habibie. Secara politis untuk kalangan tertentu secara khusus tim sukses pertemuan ini memang sangat dibutuhkan paling tidak untuk penyebaran isu politik sekaligus memperkuat eksistensi masa. Atau lebih penting lagi yaitu membangun kredibilitas tiap pasangan bahwa mereka bisa menjadi pemenang dalam hajabat akbar yang termaktum familiar dengan istilah PILKADA ini. Bagi seorang negarawan sejati itu urusan kedua. Yang paling utama ditegaskan oleh negarawan yang pernah menjadi trending topik dikalah munculnya film “Ainun” yaitu, walau berbeda kita tetap menjaga kebhinekaan. Penegasan ini penting dikalah masalah kebhinekaan sebagai entitas dan eksistensi negara ini mulai tercabik-cabik oleh oknum dan kelompok primodial tertentu. Penghormatan akan paham kebhinekaan yang tercetus dalam bingkai darah dan keringat para founding father’s bangsa ini pun mulai tergusur bahkan diabaikan. Kebhinekaan cenderung dianggap sebagai “keberadaan” yang hanya menguras tenaga. Keberadaan yang hanya memecahbelah bangsa dikalah masing-masing berkutat pada egoisme diri, RAS dan kelompok kategorial yang ekstrim. Profesionalitas warga sebagai negarawan sejati  yang cinta akan keberagaman semakin ditantang. Untuk itu bagi para kandidat Bapak B.J Habibie menekankan kembali petuah ini agar masing-masing kandidat menjunjung kembali paham dan semangat kebhinekaan.


Lalu apa hubungan dengan pendidikan? Fenomena semakin tercerabutnya paham kebhinekaan  yang akhir-akhir ini mencuat secara sadar atau tidak sadar bisa merongrong masuk ke semua bidang kehidupan termasuk dunia pendidikan. Hal ini akan semakin tampak ketika masing-masing lembaga pendidikan mulai membatasi diri pada ekslusivitas eksistensinya serta spirit lembaganya  tanpa memperdulikan atau mengabaikan hasrat bersama bahwa semua warga masyarakat berhak mendapat pendidikan yang layak. Gejalah-gejalah ini semakin mengintervensi secara kuat secara khusus pada lembaga-lembaga pendidikan swasta yang terdoktrin pada ajaran dan spirit-spirit agama tertentu. Jika paham ini akan berlaku maka tidak heran nasib dan keinginan sebagian generasi bangsa kita untuk menjadi lebih baik dengan pendidikan yang layak tidak dapat diakomodir. Itu berarti harapan mereka untuk meraih masa depannya harus dikorbankan.


Memang hal ini sukar terjadi tetapi kadang keekstriman cara pandang yang dibarengi kebencian atas dasar RAS bisa menjadi pemicu munculnya perealisasian tujuan ini. Untuk itu sedari awal mari kita pupuk semangat kebhinekaan ini. Pendidikan dari, oleh dan untuk semua harus menjadi tameng yang terus menerus diperkuat. Jika tidak permusuhan akan arti kebhinekaan itu juga akan merongrong jatidiri lembaga pendidikan yang telah dianalogi oleh bapak pendikan kita Kihajar Dewantara sebagai taman itu. Marilah kita bersama-sama memupuk semangat kebhinekaan ini mulai dari sekolah kita (EL)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendidikan Karakter: Bagaimanakah Peran Praksis Sekolah?

REKOLEKSI ala GEMADORA Kupang (Sebuah Catatan Kisah)

MADING SEKOLAH: Wadah Praktis dan Kreatif untuk Mengasah Kemampuan Menulis