Tuntutan MEA Bukan Menjadi Manusia Robot
Tak terasa
geliat dan efek tuntutan MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) perlahan-lahan telah
menelanjangi tembok esklusivitas eksistensi suatu Negara. Setiap orang (warga
Negara) dengan kecerdasan pengetahuan dan kematangan kepribadiannya mencoba
menerobos setiap tawaran di setiap daerah yang menawarkan susu dan madunya. Pada proses
ini dinamika kompetisi pun terbangun. Tak dipungkiri kompetisi ini selain
memotivasi orang untuk semakin meningkatkan kualitas dirinya tetapi juga bisa
menjerembabkan oleh rasa frustrasi karena kalah bersaing.
Hal ini sangat
kentara kalau kita menilik lebih dalam pada pasar-pasar ekonomi produktif dalam
kanca global. Tuntutan profesionalitas, kecakapan dan keterampilan merupakan
syarat mutlak yang harus dipertaruhkan. Sejalan dengan tuntutan ini maka tata
ekonomi berencana (planned economic) yang dikembangkan di Negara-negara Eropa
Timur termasuk Indonesia memposisikan pendidikan sebagai proses penanaman modal
dalam bentuk manusia (human investment). Pendidikan pada posisi ini dipandang
sebagai wahana penyiapan peserta didik untuk memasuki sektor ekonomi produktif.
Dengan demikian perencanaan pendidikan diupayakan link and matc (taut dan pandan) dengan kepentingan
perencanaan ekonomi produktif. Akibatnya terjadi adalah proses dan isi pendidikan
dikendalikan secara serta merta oleh kebutuhan pasar kerja. Satu contoh
tuntutan tersebut akhirnya memaksa sekolah untuk menambah waktu belajar dengan
pelatihan formal dan skill lainnya sehingga mengurangi waktu anak
berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Anak-anak pun akhirnya kehilangan
kesempatan untuk belajar dan bersosialisasi dengan komunitas di sekitarnya. Hal
ini akan semakin mencerabut dan mengasingkan anak dari keberadaannya sebagai
makluk sosial. Ia cenderung menjadi makluk individualis dalam pertumbuhan dan
perkembangannya. Buktiknya sudah tampak pada karakter masyarakat masa kini. Ada
kecenderungan yang terjadi bahwa sebagian besar masyarakat telah dan terus
tereduksi bahkan kehilangan daya sensibilitas sosialnya. Apalagi jika
arus globalisasi pun sudah benar-benar mencengkeramkan kuku-kuku tajam
kebebasannya, kiranya bisa dibayangkan kehidupan sosial macam apa yang nantinya
bakal terjadi.
Komentar
Posting Komentar