Antara Lifestyle dan Pemberdayaan Karakter


Sampai saat ini desusan untuk menggalakkan pendidikan karakter terus berhembus kencang. Upaya ini memang sangat perlu sejalan dengan semakin lunturnya akhlak atau tabiat (karakter), akibat kebiasaan, budaya atau lifestyle  dari generasi muda di era sekarang yang cenderung terdegradatif. Bahkan secara lokal lifestyle ini cenderung mengabaikan tatanan kearifan lokal, norma atau adat istiadat yang mengikatnya semenjak mereka lahir, tumbuh dan berkembang. Terkait dengan kasus kusut ini ada banyak contoh yang bisa kita jumpai. Bahkan kebiasaan seperti ini membuat kita kerutkan kening bahkan jadi bingung; mau pakai cara apa untuk mengatasinya. Salah satunya adalah fenomena sosial yang diulas Drs. Yohanes Bere Aton dalam Rubrik Sorot di Majalah Cakrawala NTT Edisi 63 (edisi 63). Fenomena sosial-budaya ini kini secara perlahan-lahan telah menjadi budaya pesta generasi muda bahkan gerenerasi tua di Kabupaten Belu wilayah Propinsi NTT yaitu Dansa Kijomba.

Apa itu dansa Kijomba? Dansa Kijomba merupakan dansa jenis baru yang datang dari luar dan masuk ke wilayah NTT. Saat ini dansa Kijomba sedang mulai berkembang di kabupaten Belu, Malaka, TTU bahkan sudah eksis dalam kebiasaan pesta masyarakat di kabupaten-kabupaten lainnya di pulau Timor. Secara praktis dansa ini merupakan sebuah bentuk dansa (menari saling berpelukan antara laki-laki dengan perempuan), di mana kaki laki-laki diselipkan hingga ke celah paha perempuan, badan perempuan (terlebih daerah dada) dibiarkan untuk dirapatkan hingga ke dada laki-laki, lalu laki-laki dengan gaya yang sangat erotis menggoyang-goyangkan pantatnya persis berhadapan dengan selangkang perempuan. Dari ciri-ciri seperti ini secara etis-moral dan dari sudut pandang adat istiadat memang sangat bertentangan dengan budaya asli orang Timor di mana badan atau tubuh wanita adalah sesuatu yang “disakralkan”; sesuatu yang suci (bahasa adat: luli), sesuatu yang dihargai tinggi, yang karena itu dilarang untuk disentuh sembarangan, kecuali bila sudah dibolehkan secara adat; dan mereka yang sudah dibolehkankan pun (suami-isteri), bersentuhan harus pada tempat yang lazim dan tidak di hadapan orang lain. Adat sangat menghargai kesakralan dan kesucian tubuh wanita ini. Walau substansinya bertentangan dengan adat yang berlaku namun pada kenyataannya budaya ini masih lestari bahkan menjadi hiburan yang lagi trend dalam sebuah hajatan atau pesta-pesta besar.


Ini merupakan satu dari banyak kebiasaan, lifestyle bangsa asing yang telah diadopsi secara massal. Bahkan telah menjadi langgeng, mendarah daging dan tak disadari kadang diklaim sebagai budayanya sendiri. Mereka yang mengklaim demikian adalah mereka yang sudah buta akan budaya dan jatidirinya sendiri. Mengapa demikian? Memang tak dapat dipungkiri bahwa inilah bias dari loncatan jauh dari kaki raksasa yang kita sebut globalisasi itu. Sadar atau tidak sadar lonjatan itu secara santun melindas, mengerus jatidiri generasi bangsa. Hal ini senada dikatakan oleh seorang ahli yang bernama  Arjun Appadurai. Menurut beliau globalisasi adalah The critical point is that both sides of the coin of global cultural process today are products of the infinitely varied mutual contest of sameness and difference on a stage characterized by radical disjunctures between different sorts of global flows and the uncertain landscapes created in and through these disjunctures (globalisasi adalah sebuah titik kritis sehingga dua sisi koin proses budaya global (dunia) sekarang ini menghasilkan banyak hal dan variatif yang dapat sama dan atau berbeda yang dikarakterisasi oleh perbedaan disjunctures radikal antara aliran global dan ketidakjelasan batas batas wilayah akibat gangguan tersebut. Memang benar inilah efek dari globalisasi itu sendiri. Globalisasi telah membuat batas-batas kedirian kita yang telah ditanam sejak lama bahkan sudah berpuluh-puluh tahun semenjak sebelum munculnya globalisasi itu sendiri menjadi abu-abu. Atau lebih ekstrim lagi geliat globalisasi telah membuat batas-batas kedirian kita sebagai produk bangsa yang memiliki harga sosial yang diakui dunia seperti kebudayaan asli, kearifan lokal, adat istiadat menjadi semakin tidak jelas. Paradigma berpikir dan gaya hidup ala barat atau kebarat-baratan telah memprovokasi hidup kita untuk keluar dari tatanan dan norma hidup yang sebenarnya.

 Apakah memang harus demikian? Saya pikir ini merupakan cara pikir instan yang mencoba memanfaatkan arus globalisasi sebagai wadah pengekspresian diri dengan cara apa saja asalkan saya senang dan mereka yang melihat juga senang. Memang ini tidak salah tetapi menjadi sebuah kesalahan besar jika cara berpikir seperti ini mencabut akar kedirian, kemartabatan generasi bangsa kita sebagai generasi yang beretika, bermoral dan memiliki harga diri. Untuk itu sepak terjang geliat globalisasi tetap diintervensi atau selalu mendapat kontrol dari kita semua generasi sebagai pemilik bangsa ini. Secara kelembagaan peran peran pemerintah, lembaga-lembaga sosial (para pemangku adat), lembaga-lembaga pendidikan, keluarga (orang tua) harus menentukan sikap terhadap efek globalisasi yang telah menggerus gaya hidup dan karakter diri generasi bangsa ini. Memang upaya ini tidak mudah karena bentangan pengaruh dari produk globalisasi telah eksis dalam tatanan hidup generasi zaman ini. Salah satu cara praksisnya adalah kita semua harus berani mengambil sikap dengan cara menegur jika kebiasaan atau lifestyle ala barat itu dieksiskan secara sadar namun bertentangan norma dan adat istiadat yang berlaku. Selain itu  sekaligus mensosialisasikan nilai-nilai sakral yang diakui secara sosial sebagai norma yang harus dipatuhi bersama. Dan lebih subtansial lagi bagaimana kita menjadi teladan satu dengan yang lain. Ingat menjadi teladan yang sejalan dengan jatidiri dan martabat bangsa ini. Bagi saya ini merupakan salah satu sisi pengimplementasian pendidikan karakter praktis. Jika pendidikan seperti ini dibiasakan maka suatu saat rasa kesadaran itu akan muncul dari tiap pribadi. Jika demikian kebiasaan, budaya atau lifestyle yang tidak sesuai dengan tatanan sosial yang diakui bersama bisa diminimalisir dan diarahkan pada cara/kebiasaan yang sebenarnya.  Jika tidak generasi bangsa atau daerah kita akan terjeremus pada kebiasaan-kebiasaan baru yang tidak disadari menodai jatidirinya sendiri. Mari kita sama-sama memiliki pikiran yang sejalan untuk menyikapi fenomena ini secara bijak sejalan tuntutan adat istiadat dan budaya kita. (EL)



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendidikan Karakter: Bagaimanakah Peran Praksis Sekolah?

REKOLEKSI ala GEMADORA Kupang (Sebuah Catatan Kisah)

MADING SEKOLAH: Wadah Praktis dan Kreatif untuk Mengasah Kemampuan Menulis