Mendidik yang Kontruktif? Perlu Mengedepankan Mekanisme Dialogis
Tak dipungkiri
berbagai gejala yang
mengindikasikan intoleransi
dan radikalisme masih berpotensi
terjadi di Indonesia. Potensi-potensi
ini sebagian sudah terjadi meski hanya di beberapa daerah, sebagian besarnya
bukan tak mungkin akan muncul ke
permukaan secara masif di waktu yang
akan datang, jika tidak
ditangani secara sungguh-sungguh.
Rentetan serangan
terorisme dari Mako Brimob sampai
Polretabes Surabaya, dari Sidoarjo sampai Riau dan lain-lainnya yang terjadi
belum lama ini adalah bukti nyata kecenderungan ini. Tragisnya teror membabi
buta ini meninggalkan jejak keprihatinan, kesedihan dan duka yang mendalam.
Bahkan untuk kalangan tertentu yang menjadi saksi mata bahkan korban dari
serangan ini, kejadian yang mereka alami meninggalkan keadaan jiwa yang sangat
traumatik. Hal ini wajar karena serangan ini datangnya tiba-tiba, tak terduga
dan cara yang ditempuh sangat brutal dan tidak berperikemanusiaan. Efek dari
kejadian ini membuat situasi hidup menjadi tidak aman. Maka tak heran muncul
sikap saling mencurigai, saling mengkambinghitamkan, saling memfitnah antar
pribadi atau kelompok yang dbaliknya saling mengusung kepentingan yang berbeda
dan beragam. Media sosialpun pun menjadi wadah yang manjur dan paling efektif
untuk menuang dan menebarkan isu-isu kebencian dan pertentangan ini. Inilah salah satu tujuan terorisme yang
sangat massif. Menebarkan ancaman, menguak ketakutan. Apalagi pelakunya
melibatkan semua generasi baik tua maupun muda, baik anak, remaja maupun
dewasa, baik pria maupun wanita, baik berpendidikan maupun yang tidak
berpendidikan.
Setiap pribadi bisa
terinfeksi ajaran dan membangun kecenderungan sikap terror satu dengan yang
lainnya jika daya nalar (kritis) sudah bungkam dijejal cara berpikir sempit
yang bercorak radikal. Hal ini juga telah meramu secara ekslusif di dunia
pendidikan. Hal ini terungkap ketika ditemukan bahwa ada indikasi penyebaran
paham-paham intoleran dan radikal di kalangan siswa sekolah menengah umum dan perguruan
tinggi negeri, yang menyamarkan gerakan mereka sebagai kelompok
studi yang mendorong pemurnian-agama. Bukan
soal itu, ada fenomena-fenomena anarkisme baik itu kekerasan fisik dan
ancaman-ancaman verbal yang kian kini ditunjukkan generasi terdidik zaman ini. Mereka
mudah terprovokasi pada ajakan yang mengarah pada tindakan-tindakan radikal. Bahkan
tindakan itu tanpa takut mereka publikasikan di media sosial.
Bagi para pakar dan
pemerhati dunia pendidikan fenomena seperti ini sangat disayangkan. Pertanyaan
yang muncul mengapa kecenderungan ini mudah memprovokasi para generasi terdidik?
Secara konsep-teoritis memang perlu dikaji secara mendalam dengan segala indikator-indikatornya.
Namun secara teknis dapat kita memberikan sebuah masukan bahwa lembaga-lembaga
pendidikan perlu mengedepankan sebuah mekanisme pendidikan yang inklusif. Salah
satunya yaitu harus ada ruang dialog yang perlu dibangun secara kritis antara
pendidik dan terdidik. Hal ini memungkinkan terjadinya sharing pengetahuan yang
saling mengkontruktifkan satu sama lain.
Seperti kata Paulo Freirre proses
pendidikan itu harus membebaskan. Mendidik bukan diskenariokan seperti
mekanisme kerja ala bank. Peserta didik bukan bank yang dijejal dengan segala
ajaran dan pengetahuan secara sepihak tanpa adanya komunikasi timbal balik.
Selama ini kemungkinan ini sering terjadi karena para peserta pendidik
menganggap para pendidik adalah “guru”.
Guru yang serba tahu segala sesuatu sehingga perlu ditaati dan dituruti secara
kaku. Ini bukan mekanisme mendidik yang konstruktif. Perlu ada ruang untuk
komunikasi dialogis dan kritis yang terjadi didalamnya. Hal ini secara tidak
langsung meminimalisir bahkan menghindari segala kemungkinan penjejalan secara
sepihak tentang ajaran-ajaran yang tidak diinginkan; ajaran-ajaran yang tidak
sejalan dengan norma dan kebenaran-kebenaran umum yang telah diakui bersama sebagai
patokan untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (*)
Komentar
Posting Komentar