Gadis Pemilik Caffe
Ting… tiba-tiba bunyi itu
diperdengarkan. Tak lama berselang suara nan ayu menguntitnya sembari menyapa
penuh santun. “Kurang beberapa menit lagi kita akan mendarat di Bandara Para
Pelancong. Suara itu seketika menyadarkan pulasku. Mataku perlahan-lahan
menatap yang ada di sekitarku. Sepertinya semua penumpang dalam situasi yang
sama seperti aku. Ya, kaget dari tidur yang memaksa. Sepertinya disengajakan.
Ini mungkin strategi tak sadarkan diri agar “tidak merasakan” ayunan dan
hentakan body Lion Air yang sering mengoyakkan isi dalam perut. Muntah, mual,
pusing itulah efeknya. Bagi mereka yang “masih perdana” mungkin ini salah satu
trik praktisnya. Kalau tidak tidur, isap saja permen pesan temanku waktu itu.
Ini mitos atau tidak dicobai dan yakinlah pasti ada manfaatnya.
Pandangan mataku
seketika terperosok disisi kiriku. Kulihat gadis setengah baya teman
sebangkuku pun tersentak kaget. Mata kami pun beradu pandang sembari mengulas
senyum tersipu-sipu. “Hay kak!” Sapaan awalnya yang penuh keramahan itu
langsung menyusup cepat dalam relung hati. Aku pun terpesona. Kucoba menatapnya
penuh persahabatan. Namun cara pandang kami pun tak sebebas cakrawala. Rasa
malu masih menjadi pembatas ketakbebasan itu meskipun tatapan kami sudah saling
menjemput dalam rasa yang sama. Aku tak bisa memaksa karena semuanya sebatas
kagum. Iya. Kagum karena kesantunannya. Kagum karena rasa hormatnya. Kagum
karena kemasan kata-kata yang terlontar rapi dari bibir mungilnya. Kagum karena
aura manisnya yang muncul dibalik dandanan yang serba natural.
Hmmmmm….ini seleraku. Rasa
penasaranpun semakin mencambukku. Aku ingin mengenalnya lebih jauh namun terasa
berat. Rasa canggung membatasi niatku. Kulihat ia pun hanya diam tersipu.
Sesekali aku hanya mencuri pandang. Melihat sekejap tatap. Kulihat tangannya
mulai sibuk merapikan helaian rambut lurusnya yang terurai di raut muka yang
masih menyisahkan rasa kantuk yang hampir sejam berlalu. Tiba-tiba matanya
melotot jauh ke kiri di jendela pesawat. Reaksinya pun seketika membuyarkan
tatapanku padanya. Aku pun spontan mengikuti arah tatapannya. Ternyata begitu
indah. Sebuah panorama alam yang mengagumkan. Hamparan laut yang dibatasi
jejeran pulau-pulau dan hamparan pantai berpasir putih yang mengemas indah
membuat panorama itu semakin eksotik. Mata kami pun dibuat terbuai pada
keindahan yang tampak itu. Kali ini tatapanku tak berpaling lagi. Mataku
semakin melotot tajam penuh kagum.
“Indah sekali ya? “tanyaku
mencoba membuka percakapan. “Sangat indah Kak. Keindahan pesona tempat seperti
inilah yang memotivasiku datang ke sini, “jawabnya dengan bola mata berbinar
cerah.
“Kakak juga baru kesini ya?
“sambungnya.
“Iya. Selama ini aku memang
punya niat yang besar agar suatu saat bisa melihat secara langsung segala
keindahan yang ada di daerah ini. Tapi selama ini tidak kesampaian. Namun rasa
penasaran ini semakin mencuat, memaksa keingintahuanku ketika mendengar segala
cerita yang diperbincangkan orang-orang di tempat-tempat nongkrong, di
ruang-ruang diskusi dan di media masa: koran, majalah, TV, facebook, whatshap,
instagram dan lain-lainnya. Hari ini hasrat itu bisa terealisasi karena
kebetulan aku ditugaskan untuk melaksanakan program kerja kantorku di tempat
ini. Semoga kesempatan ini memenuhi rasa ingintahuku selama ini, “jelasku lebih
jauh.
“Oh gitu ya. Kalau
begitu nanti kita sama-sama saja Kak kebetulan ayahku punya caffe di tempat
ini. Kita bisa ngobrol di caffe. Selain itu kita melihat keindahan alam di
sekitar caffe. Areanya masih sangat luas kok. Semuanya sudah dibeli ayahku.
Rencananya mau dibangun hotel dan taman rekreasi. Kita bisa jalan-jalan di area
ini. Viewnya juga bagus sekali Kak. Aku yakin kak pasti suka”.
Sekali tatap kulihat
gadis itu menjelaskan penuh semangat. Sekaligus ada gairah yang besar baginya
untuk mengajakku bersamanya menikmati segala keindahan di caffe itu.
“Coba lihat itu Kak”.
Tiba-tiba tangannya menunjuk ke arah jendela. Arah telunjuk itu seketika
mengarahkan pandangan saya. “Itu area yang aku maksud. Keren kan Kak? Aku hanya
mengangguk-ngangguk spontan sekadar memberikan kenyamanan. Mataku seketika tak
melotot lagi. Perasaan heran mulai menyulam pelan ketika melihat hamparan area
yang begitu luas itu. Dalam hati tiba-tiba muncul bertubi-tubi pertanyaan
yang terus menggelitik pikiranku.
“Area itu sebenarnya
milik siapa? Tanah pemerintah atau masyarakat setempat? Kenapa seluas itu ya
tanah itu dijual? Jika penjualnya adalah masyarakat setempat lalu di mana
mereka tinggal dan merajut masa depan mereka? Sebebas itu kah tanah-tanah itu
dijual? Sangat miris. Sebuah fenomena sosial yang perlu dikaji dan
ditindaklanjut secara baik dan bijak. Jika tidak suatu saat masyarakat setempat
akan terdampar pada sikon hidup yang membuat mereka asing di tanah mereka
sendiri. Ya, mungkin ini fenomena yang lagi bergema di tanah ini”.
Tiba-tiba aku
teringat dengan isi percakapanku dengan salah satu teman seprofesiku di malam
itu. Pada waktu itu dia secara gamblang membeberkan penelusurannya terkait
persoalan tanah di tempat ini. Menurutnya sebagian besar lahan di tempat ini
telah dikuasai “para tuan kaya”. Umumnya para tuan kaya dari luar daerah ini.
Bahkan ada yang sudah membuat status kepemilikannya dengan membangun beberapa
ruang dan area rekreatif yang serba wah. Selain itu
temanku juga mengatakan bahwa ada sebuah persoalan klasik dan menjadi strategi
bisnis yang telah membudaya dalam diri masyarakat di wilayah ini ketika para
tuan kaya mengintip dan ingin memiliki tanah di tempat ini. Masyarakat dengan
sebebas cara menjual tanah kepemilikannya. Bahkan katanya “sertifikat di atas
sertifikat”. Uhfttttt….Kalau fenomena ini tidak bisa dicegah maka kecenderungan
perkelahian antar saudara bisa meletus bahkan mempertaruhkan segala hal
termasuk nyawa. Efek umumnya apa? Masyarakatpun jadi korban di tanahnya
sendiri. Sedangkan tuan-tuan kaya tetap sebebas ingin karena mereka punya uang
bahkan juga kuasa. Memang sungguh mengkuatirkan. Tapi itulah realitas yang
sedang menyejarah pada zaman yang makin modern.
Sekilas pandang
kucoba memandang gadis ini. Dalam diam kucoba menebak-nebak, apakah salah satu
tuan-tuan kaya itu ayah dari gadis ini?
“Gimana Kak nanti
kita jalan-jalan di area itu?” Sapaan gadis itu seketika membuyarkan
permenunganku dalam nada tanya itu. “Aku tidak janji ya? Kalau ada
waktu free aku
akan hubungi, ”balasku penuh gairah. Gadis berambut terurai itu pun
hanya mengulas senyum optimis. Akupun tak membiarkan momen romantis itu berlalu
tanpa arti. Iya, ini sikon penuh arti. Karena ini bukan soal tanah
yang dikuasai tuan-tuan kaya tapi rasa yang dikuasai sang pemilik hati. Aku dan
gadis itu. Aku pun membalas dengan tatapan penuh keakraban sekadar menjaga
kenyamanan yang sudah dikemas. Ternyata perkenalan singkat itu akhirnya
mengakrabkan kami di sisa waktu itu.
Waktu itu kira-kira
jam 09.00 WITA pesawat yang kami tumpangi pun mendarat. Seperti para penumpang
lainnya kamipun segera bergegas mengambil barang-barang bawaannya untuk segera
turun. Tampak cuaca di kota itu berwajah begitu cerah menghiasi panorama daerah
yang terkenal dengan destinasi pariwisatanya. Dengan wajah sumringah
kulangkahkan kaki melewati tangga-tangga yang menjejer menurun dibelakang body raksasa itu.
Tiba-tiba kuteringat ajakan gadis itu. Dimanakah dia? Kucoba memperlambatkan
langkah sembari mencari diantara para penumpang yang telah bergegas menyusur
menghindari terik. Hilang. Gadis itu tak terlihat lagi. Ke arah mana kah dia?
Kucoba menatap jauh kedepan sambil bergerak kesana kemari menghafal switter
biru muda yang membungkus raga mungilnya. Iya switter biru. Aku masih ingat.
Tapi semuanya kini sebatas bayang. Ia pergi tanpa pamit. Sepertinya rasa dan
logika kami masih berbenturan. Tak secerah pagi ini. Mungkin pertemuan kami
hanya sebatas ini. Namun dalam diam kumengulum asa. Semoga suatu saat pertemuan
kami berlanjut pada kisah yang berbeda. Bukan tentang masyarakat,
tuan-tuan kaya dan tanah. Tapi tentang rasa yang perlu dikemas bersama pada
rentang waktu yang lebih lama, indah dan membahagiakan. Aku selalu menunggumu.
Biarlah waktu seperti ini datang lagi untuk yang terakhir kalinya (*)
Komentar
Posting Komentar