MADING SEKOLAH: Wadah Praktis dan Kreatif untuk Mengasah Kemampuan Menulis



Saya tidak tahu lagi itu kapan. Tapi saya masih ingat pada waktu itu saya pernah menjadi pengurus  inti mading sekolah di sebuah lembaga pendidikan khusus itu, lembaga pendidikan khusus untuk calon imam. Ingatan tentang pengalaman di  belasan tahun yang lalu ini sekadar untuk menggariskan sebuah makna penting tentang sebuah spirit dasar. Spirit dasar yang sudah mengakar di lembaga pendidikan itu yaitu  spirit membangun kebiasaan berliterasi. Jadi flashback ini bukan untuk menyombongkan kualitas lembaga pendidikan atau membanggakan almamater ini tetapi hanya sekilas menggambarkan iklim literasi di lembaga pendidikan setingkat sekolah menengah atas itu.

Kenyataan yang tak dipungkiri bahwa ada iklim menulis yang dibangun baik sana. Walau sampai saat ini banyak alumnus lembaga pendidikan yang belum menyadari sisi ini. Mungkin karena iklim ini dianggap sebagai yang hal biasa. Atau sudah membeku dalam sebuah rutinitas yang sudah berlangsung dengan sendirinya atau otomatis. Spirit ini akhirnya berjalan tanpa sadar walau dinamikanya terus berproses tanpa batas. Di tempat ini ada ruang-ruang positif yang sangat besar dan terbuka bagi setiap pribadi untuk mengembangkan bakat dan mengasah kemampuan menulisnya. Tak heran hasilnya tak berbeda terbalik dengan proses yang yang selalu bergerak dinamis itu. 

Buktinya ada. Secara kasat mata setiap tahun lembaga pendidikan ini  menghasilkan output lulusan yang memiliki kemampuan menulis di atas rata-rata. Tak heran jika kita mendengar dan membaca  di berbagai sumber informasi tentang beberapa jebolan dari lembaga pendidikan ini yang  telah menjadi penulis hebat, produktif dan terkenal baik berstatus imam maupun awam. Memang tak bisa terbantahkan bahwa secara natural ada lulusan yang sudah memiliki kemampuan dalam soal menulis. Tetapi secara kebanyakan kemampuan literat yang dimiliki itu makin terasah dan terbentuk ketika mereka berproses secara baik dan sungguh-sungguh selama memupuk cita-cita di lembaga pendidikan itu.




Ah, mungkin saya sudah terlalu jauh menceritakan kelebihan dan keunggulan lembaga pendidikan ini. Tapi ini sedikit gambaran awal terkait bagaimana munculnya rasa kecintaan saya dalam dunia tulis menulis. Jujur saja di lembaga pendidikan inilah kemampuan saya diasah walau hanya lewat mading sekolah. Ya, di mading Tunas Muda namanya. Terlepas apakah madding itu masih eksis atau tidak, nama Tunas Muda yang terpampang horizontal di papan tua itu masih membekas kuat dalam ingatan saya sampai saat ini. Melalui  wadah itu bersama dengan beberapa teman pengurus kami memberdayakan kemampuan dan potensi menulis teman-teman yang lain. Paling tidak dalam sebulan dua edisi kami publikasikan. 

Memang awalnya bukan perkara mudah karena rasa pesimis saya muncul akan kedirian saya. Saya harus akui kemampuan menulis saya waktu itu masih dibawah rata-rata jika dibandingkan dengan teman-teman yang lain.  Namun dalam berjalannya waktu proses itu pelan-pelan mematangkan kemampuanku. Kemampuan-kemampuan dasariah yang efeknya saya rasakan sampai saat ini. Bukan hanya kemampuan menulis tetapi melalui proses kreatif itu kemampuan berorganisasi dan mengorganisasi juga perlahan-perlahan diberdayakan. Ya, semuanya berawal dan berproses dari mading sekolah.

Memberdayakan Mading ala Media Pendidikan Cakrawala NTT

Proses kreatif ini pun berlanjut. Semuanya terulang lagi ketika kami berproses melanggengkan budaya literasi di sekolah-sekolah bersama Media Pendidikan Cakrawala NTT. Dalam dan melalui sebuah program kerja yang cukup familiar yaitu Pelatihan Jurnalistik dan Bimtek Menulis Karya Ilmiah kami bergerak dari kampung ke kampung, dari sekolah ke sekolah. Memang benar kata orang pergerakan ini juga butuh biaya tapi menurut saya semangat berkorban memiliki kontribusi yang lebih besar. Semangat berkorban yang tanpa menyerah hanya untuk membangkitkan “sesuatu yang sudah mati” agar “hidup kembali”. Salah satu diantaranya menumbuhkan kembali budaya menulis dan menggiatkan kembali proses kreatif siswa lewat mading sekolah. Untuk tujuan terakhir ini adalah bukti nyata niat baik dari pergerakan edukatif ini. 

Mengapa harus dengan dan melalui mading? Terkait dengan pertanyaan ini maka saya harus mengawali tulisan ini dengan pengalaman saya tadi. Memang selain mading, ada program-program kreatif-edukatif lainnya yang punya ruang dan potensi yang sama untuk memberdayakan kemampuan literatif ini. Dalam tulisan saya lebih mengangkat soal mading  karena proses kreatif ini mengumpal berbagai fungsi edukatif yang memiliki sisi gunanya. Ada beberapa poin yang bisa saya bagikan. Terkait dengan fungsi dan efek positif dari mading saya  senada dengan apa yang ditulis Agustinus Purwanto dalam Kompasiana Beyond Blogging.


Pertama, mading sekolah sebagai wadah pembelajaran siswa. Majalah dinding sekolah berfungsi bukan sekadar sebagai media komunikasi antara siswa dengan siswa dan siswa dengan sekolah/penyelenggara. Mading memiliki fungsi sebagai media pembelajaran bagi siswa untuk mengembangkan keterampilan menulis. Minat dan kegemaran menulis bisa dimulai dan dikembangkan melalui mading. Fungsi ini bisa maksimal ketika mading dikelola secara serius. Serius artinya pihak sekolah harus memberi pendampingan kepada para siswanya. Pendampingan bisa dilakukan oleh guru bahasa atau guru yang berminat pada bidang jurnalistik karena mading ini terkait dengan kegiatan tulis menulis dan publikasi.

Kedua, melalui mading siswa belajar menyusun program kerja. Dalam proses pembuatan mading pasti juga butuh waktu untuk membuat rencana kerja yang meliputi; penetapan tema dan periodesasi terbit. Tema yang ditentukan juga harus menarik sesuai konteks peristiwa dan disesuaikan dengan jangkauan pemahaman siswa. Misalnya dalam satu tahun pelajaran, para siswa dapat membuat tema sesuai dengan kalender pendidikan, misalnya Januari tema Happy New Year, Feberuari tema Valentine, April tema Paskah, Mei tema Pendidikan dan seterusnya. Sedangkan untuk terbitan bisa ditentukan berapa edisi dalam sebulan. Semuanya pasti butuh rencana yang matang. Dalam proses seperti inilah secara tidak langsung siswa dilatih untuk belajar  menyusun program kerja.




Ketiga, sebagai wadah mengembangkan pendidikan karakter. Mading pada prosesnya tidak hanya menjadi tempat belajar menulis tetapi juga berorganisasi yang baik bagi para siswa. Didalam tim mading para siswa akan belajar membuat program, disiplin waktu karena time schedule, kerja sama dan bagaimana menghargai orang lain. Banyak values direfleksikan dan dihidupi didalam pengembangan mading. Mading menjadi media yang efektif untuk pendidikan karakter karena banyak nilai positif yang didapatkan dalam proses kreatif ini. 

Keempat, mading sebagai wadah promosi. Majalah dinding yang dikelola secara serius akan memberi nilai promotif bagi sekolah. Kreasi dan prestasi para siswa dapat ditampilkan pada majalah dinding, dan hal ini adalah promosi yang sangat murah sekaligus efektif kepada masyarakat. Kebutuhan penghargaan terpenuhi. 

Menurut psikolog behaviorisme, Abraham Maslow dalam diri setiap manusia terdapat hirarki kebutuhan yang tidak mungkin kebutuhan yang lebih tinggi terpenuhi sebelum kebutuhan yang lebih rendah tercukupi. Salah satu kebutuhan manusia adalah kebutuhan untuk dihargai. Jikalau kebutuhan untuk dihargai ini telah terpenuhi maka ia akan berusaha memenuhi kebutuhan aktualisasi diri sebagai kebutuhan tertinggi. Majalah dinding memberi keluasan bagi para siswa untuk memenuhi kebutuhan akan penghargaan. Misalnya, tulisan dan karya siswa yang dipublikasikan di mading akan memberi penghargaan istimewa bagi yang bersangkutan. Proses ini akan semakin membangkitkan antusiasme siswa akan pengembangan madding yang lebih berkualitas. 


Kelima, mading merupakan proses kreatif yang pelaksanaannya sederhana tapi menarik. Mading harus dirancang secara sederhana tetapi menarik. Sederhana karena majalah dinding bukan majalan professional yang mengeluarkan dana yang besar. Sederhana dalam arti, peralatan dan sarana yang diperlukan upayakan memanfaatkan barang-barang yang tidak mahal. Ini harus menjadi sebuah mindset yang perlu tanamkan kepada siswa. Walau demikian aspek menarik harus tetap dipertahankan melalui pengembangan potensi dan kreativitas siswa. Jika diakomodir secara baik maka hasilnya pun akan luar biasa. Bayangkan setiap sudut ruangan luar gedung sekolah menjadi media untuk mading yang apik dan ilmiah. Tentu situasi ini akan menjadikan sekolah makin indah dan menarik dihuni oleh para siswa.

Ini sekilas sharing pengalaman dan beberapa point penting yang bisa saya bagikan terkait dengan pentingnya pemberdayaan mading di sekolah. Menjadi sebuah keprihatinan saya jika melihat kenyataan bahwa selama ini mading sering dipandang sebelah mata keberadaanya. Masih banyak sekolah yang belum mengembangkan mading sebagai kegiatan ekstrakurikuler. Padahal mading sungguh memiliki kekuatan besar untuk mengembangkan bakat dan minat siswa dalam menulis. Ketika sekolah mengabaikan kegiatan ini, sekolah telah membuang unsur penting dalam pendidikan yakni proses berpikir. Mengapa saya katakan demikian karena mading adalah wadah pembelajaran menulis, dan “menulis adalah proses berpikir”. Mading adalah media praktif dan efektif untuk mengembangkan kreativitas siswa dan budaya ilmiah di lingkungan sekolah. (*)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendidikan Karakter: Bagaimanakah Peran Praksis Sekolah?

REKOLEKSI ala GEMADORA Kupang (Sebuah Catatan Kisah)