LITERASI, UNTUK APA DAN OLEH SIAPA?


Tulisan saya ini sekadar membuka pandangan kita tentang apa yang kami buat selama ini terkait pelanggengan budaya literasi ala Media pendidikan Cakrawala NTT. Saya mengatakan demikian karena mencoba meminimalisir pandangan murahan terkait misi gerakan yang selama ini kami lakukan. Setahu saya di waktu-waktu awal kami menggelorakan gerakan edukatif ini belum banyak pikiran-pikiran miring yang secara tidak langsung mencoba melemahkan semangat kami. Tetapi setelah gerakan ini mem-booming dalam payung Gerakan Literasi yang waktu itu dicanangkan secara nasional semasa kepemimpinan menteri pendidikan waktu itu Anies Baswedan tamparan keras terus menghempas semangat kami yang sedari awal sudah terbangun dengan misi yang mulia ini. Bukan sekadar mencuci tangan dari setiap hujatan itu tapi pada tulisan ini saya coba membuka cakrawala berpikir kita terkait tujuan positif dari gerakan ini.



Literasi itu Penting
Sebenarnya tujuan gerakan literasi ala kami ada dasarnya. Semuanya yang kami lakukan sebenarnya berangkat dari sebuah keprihatinan bersama terkait semakin lemahnya budaya literasi dikalangan generasi daerah dan bangsa ini akibat dimanjakan dengan budaya gadget. Memang sedari awal dibentuknya media ini tujuan asalinya adalah hanya sebagai media informasi saja. Dengan informasi-informasi yang dikemas melalui tulisan-tulisan kritis-edukatif kami mencoba memperjuangkan kekuatan literasi ini. Tetapi dalam perjalanan waktu ternyata kekuatan informatif ini tak semaksimal membedah kelengahan budaya literasi yang ada. Atas dasar faktor ini maka kami mencoba melengkapinya dengan sebuah gerakan formasi yaitu melakukan pendekatan turba (turun ke bawah)  melalui kegiatan bimbingan teknis terkait menulis. Selain itu melalui pendekatan turba ini kami juga menggaungkan secara langsung pentingnya budaya membaca. 

Awalnya gerakan ini dilakukan secara serabutan tetapi dalam prosesnya semakin sistematis ketika banyak pihak secara khusus lembaga-lembaga pendidikan di daerah-daerah menjemput baik misi baik gerakan ini. Buktinya ada kurang lebih ratusan lembaga pendidikan dan komunitas-komunitas kategorial tertentu membuka diri sekaligus membuat Memorandum Of Understanding (MOU) untuk secara rutin melakukan gerakan ini. Dari ratusan tanggapan positif ini diantaranya dari kelompok kategorial seperti Asosiasi Guru Penulis Flores Timur (Agupena Flotim), Gerakan Katakan Dengan Buku dan terakhir dengan Komunitas Secangkir Kopi Kupang. Hal ini membuktikan bahwa gerakan formatif yang berpayungkan Literasi ini dirasakan dan diyakini sangat penting di mana mempunyai daya ungkit yang luar biasa bagi pemberdayaan kreativitas dan daya nalar sekaligus mengemas karakter generasi masa depan yang semakin literat.


Gerakan ini cukup membawa virus yang positif. Bukti nyatanya ada. Munculnya wajah-wajah baru dalam ruang publik yang sudah diakomodir beberapa media lokal maupun terakses separatis melalui facebook, instagram, blogger menunjukkan gerakan ini memiliki daya motivatif yang cukup baik. Wajah-wajah baru yang masuk dalam percaturan dunia tulis menulis ini terus berkreasi. Mereka berasal dari lintas generasi baik berasal dari generasi muda yang diwakili para siswa dan mahasiswa maupun generasi tua yang diwakili para guru maupun dosen. 

Memang masih prematur bahkan terlalu pongah mengklaim bahwa misi baik dari gerakan ini berimbas pada munculnya wajah-wajah baru yang berpredikat penulis-penulis pemula ini. Tapi paling tidak nyawa gerakan ini sudah sedikit merasuk kebuntuan dan kegagapan literasi. Walaupun demikian di sebagian kelompok orang geliat gerakan edukatif-kontruktif ini masih ditanggapi setengah-setengah. Bahkan lebih ekstrim lagi “dicemooh” sebagai sebuah gerakan tambal sulam dari kelompok gila yang haus popularitas bukan sebagai gerakan komprehensif yang pada intinya menjadi keprihatinan dan tanggung jawab semua pihak lintas profesi. 

Secara spontan dapat dikatakan juga bahwa masih banyak pihak merasa bahwa literasi (baca tulis) adalah sebuah kebiasaan sehari-hari yang tidak perlu digerakan lagi. Ada yang mengklaim bahwa biarlah gerakan ini berjalan apa adanya tanpa ada yang mengintervensi dan menggerakkan. Atau dilain pihak ada yang membuat komentar pesimis “buat apa menggelorakan budaya literasi kan toh efek gerakan itu tidak semaksimal mungkin mengubah tatanan peradaban masyarakat dan bangsa ini yang sudah gagap ini”. Apakah memang demikian? Jika kita melihat efek langsung dari gerakan ini memang cukup masuk akal tanggapan-tanggapan lepas ini. Tetapi jika kita melihat efek keberlanjutan dari gerakan ini maka kita perlu memikir ulang pemikiran pesimistis ini.



Bagi kami kekuatan literasi kekuatan literasi memiliki daya ungkit yang luar biasa dalam membangun peradaban masyarakat dan generasi masa depan. Memang tidak mudah semudah membalikkan telapak tangan. Semuanya butuh waktu dan proses yang sistemik serta digerakkan secara konsisten dan berkelanjutan. Ini bukan rekayasa ide tetapi ini sebuah revolusi kenyataan yang telah menggarisi sebuah sejarah panjang keberadaban manusia di dunia ini. Ini memang benar. Coba kita bandingkan dengan sejarah peradaban dunia yang telah memperadab keberadaan masyarakat dunia saat ini melalui gerakan ini. Perlu diketahui bahwa babakan sejarah peradaban dunia waktu itu ditandai oleh terbitnya kekuatan literasi masyarakat. Mereka yang mengunggulkan kekuatan  literasi berpotensi menjadi penguasa peradaban dunia. Kekuatan literasi outputnya berupa pengetahuan adalah kekuasaan menurut Michel Foucault. Bukti sahih kekuatan literasi ini bisa dilihat dari napak tilas peradaban dunia. Dimulai dari era peradaban Yunani kuno. Kala itu kekuatan literasi filsuf Yunani mampu menguasai alam pemikiran Helenistik. Pengetahuan ala Yunani ini kemudian menjelma menjadi kiblat peradaban dunia. 

Selanjutnya estafet peradaban dunia diambil alih oleh bangsa Arab (Islam). Kekuatan literasi umat Muslim menarik intisari pemikiran Yunani dan mengeksplorasinya, mampu mengelaborasi ilmu pengetahuan menjadi makin berkembang. Pasca-Islam, pemimpin peradaban dunia dikuasai oleh Eropa (Barat). Berbekal referensi pemikiran Yunani dan Islam, bangsa barat makin memvariankan ilmu pengetahuan menjadi lebih rasional. Hingga kini, kekuatan literasi bangsa barat menjadi faktor dominan pembentukan masyarakat dunia termasuk menyadarkan dan memompa semangat para penulis tenar kita di tempo dulu.



Selain tinjauan historis, inspirasi kekuatan literasi juga bisa ditelaah dari metode keberhasilan negara-negara maju dunia. Negara-negara seperti Jepang, Amerika, China, dan India telah memiliki kesadaran untuk menempatkan budaya literasi sebagai pilar utama kemajuan bangsanya. Jepang negara yang dikenal surganya para pembaca buku, mampu meciptakan atmosfer literasi pada pada semua kalangan masyarakat. Mulai dari sakabun (tugas mengarang di sekolah), tachiyomi  (membaca di toko buku tanpa membeli), acara televisi ”toko buku Sekiguchi”, sampai produktivitas menerbitkan 65.000 judul buku setiap tahunnya, menjadi bukti apresiasi masyarakat Jepang terhadap budaya membaca dan menulis. 

Lain halnya lagi dengan Amerika. Negara Paman Sam ini memiliki cara yang unik dalam membangun budaya literasi masyarakatnya. Pada tahun 2000-an, Amerika melakukan revolusi menulis melalui gerakan terorganisasi ke sekolah-sekolah dan perguruan tinggi dan merekomendasikan program ke anggota kongres atau senat untuk mendorong gerakan menulis. Begitu fundamentalnya penanaman budaya literasi bagi pembangunan negara-negara maju dunia. Mereka berupaya menciptakan tatanan masyarakat literasi untuk mampu menjadi pemimpin dalam dinamika perubahan global.

Jika mereka yang sudah berpredikat negara-negara maju masih mengamini literasi sebagai kekuatan potensial yang bisa merubah jatidiri sumber daya manusia dari segala dimensinya bagaimana dengan kita? Bagaimana dengan gerakan literasi ala kita? Apakah memiliki substansi gerakan yang berbeda? Jika substansi gerakannya sama apakah kita tetap merasa pesimis dengan apa yang kita, kami, mereka gerakan selama ini? Semuanya kembali pada paradigma berpikir kita.



Literasi Sekadar Baca Tulis?

Dari upaya pelanggengan budaya literasi ditengah tatanan pemikiran modern dunia saat ini muncul pertanyaaan yang kadang menelisik sadar “apakah literasi itu sebatas membaca dan menulis?” Apa yang bisa kita jawab? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia literasi adalah (sesuatu yang) berhubungan dengan tulis-menulis. Namun dalam konteks kekinian, literasi memiliki definisi dan makna yang sangat luas. Literasi bisa berarti melek teknologi, politik, berpikir kritis, dan peka terhadap lingkungan sekitar. Dalam paradigma berpikir modern, literasi juga bisa diartikan sebagai kemampuan nalar manusia untuk mengartikulasikan segala fenomena sosial dengan huruf dan tulisan. 

Kirsch dan Jungeblut dalam buku Literacy: Profiles of America’s Young Adults mendefinisikan literasi kontemporer sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan informasi tertulis atau cetak untuk mengembangkan pengetahuan sehingga mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Sementara American Library Association (ALA) mendefinisikan literasi informasi sebagai kemampuan seseorang untuk mengidentifikasi informasi yang dibutuhkannya, mengakses, menemukan, mengevaluasi, dan menggunakan informasi secara efektif dan etis.

Dari uraian di atas, literasi sangat berkaitan erat dengan kemampuan berpikir kritis dan kepekaan terhadap semua aspek kehidupan. Literasi menuntut kemampuan menganalis suatu informasi untuk digunakan secara tepat bagi kebermanfaatan masyarakat. Melalui kemampuan literasi, suatu masyarakat tidak  hanya mampu membaca secara teks (melek huruf) saja, tetapi mampu membaca secara konteks dinamika zaman dan warisan budayanya. Dalam istilah sederhananya bisa disebut ”melek wacana” dan “melek kultural”. Melek wacana bisa diartikan kemampuan membaca realita secara kritis dan kreatif. Sementara melek kultural bisa diartikan pemahaman dan keteguhan terhadap nilai-nilai kultural yang menjadi fondasi kemajuan bangsa.

Harus Ada Pembaruan

Menyoal budaya literasi kita yang masih lemah, maka diperlukan upaya pembaruan. Orientasinya adalah penguatan budaya literasi masyarakat secara khusus generasi muda sebagai tulang punggung bangsa di masa depan. Sementara luaran yang diharapkan adalah terciptanya masyarakat melek realitas dan melek kultural. Berangkat dari hal ini maka perlu diberdayakan beberapa formulasi kebijakan pendidikan sebagai kebijakan publik menuju masyarakat literasi, antara lain:

Pertama, menggagas kebijakan pendidikan yang berorientasi pada proses. Pada kenyataannya kebijakan pendidikan sekarang berorientasi pada hasil dengan semata-mata praktek menghafal dari pada proses belajar kreatif. Menurut Jean Piaget, proses belajar kreatif ini adalah tahapan perkembangan kognitif peserta didik mulai dari proses dialektis situasional, kondisi kritis, hingga tahap perenungan dan verifikasi terhadap jawaban yang telah disusun peserta didik. Melalui orientasi proses ini, pelajaran Bahasa Indonesia bisa dimaksimalkan untuk menanamkan kecintaan peserta didik untuk membaca, menulis, dan melakukan perubahan sosial yang secara sederhana dimulai dari lingkungan sekolah. Pemberdayaan kreativitas siswa untuk membuat majalah/buletin atau madding sekolah adalah cara-cara praktis yang cukup kontruktif melanggengkan semangat gerakan ini.

Kedua, optimalisasi peran guru atau pendidik sebagai “ujung tombak” dalam pembaruan pendidikan. Pemberdayaan pendidik perlu berjalan terus dan bersinambung karena ditangan pendidiklah terletak proses reorientasi kurikulum di sekolah-sekolah. Terkait budaya literasi, para pendidik perlu aktif dalam dialog kritis mengenai keadaan politik, sosial, ekonomi, dan budaya yang berkaitan dengan pembaruan pendidikan. Pendidik juga perlu memberikan teladan dalam proses pembelajaran budaya literasi.

Ketiga, terkait pada kebijakan publik yang mendukung terpeliharanya atmosfer literasi masyarakat, maka diperlukan sarana dan prasarana literasi yang mendukung. Misalnya memperluas dan memperbanyak toko buku plus jejaring perpustakaan publik atau ruang-ruang baca di pelosok daerah. Memaksimalkan sarana online untuk pendidikan jarak jauh. Melalui pendidikan jarak jauh ini penyebaran ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya dapat dengan mudah diinseminasikan kepada masyarakat luas. Maka penting sekali pengadaan jaringan-jaringan telkomsel di kampung-kampung yang masih terisolir dengan sarana-sarana pendukung seperti ini.

Keempat, pemerintah juga berupaya untuk menghadirkan buku dengan harga yang murah kepada masyarakat. Misalnya dengan mengurangi pajak dalam industri buku dan sering mengadakan bazar atau pameran buku. Kelima, pemerintah juga perlu menggencarkan kampanye atau gerakan cinta membaca dan menulis. Misalnya dengan sering mengadakan seminar atau pelatihan menulis dan memperdayakan lembaga-lembaga yang ada di komunitas atau kelompok masyarakat untuk mendaratkan kembali semangat membaca dan menulis.

Keenam, perlunya membentuk lembaga khusus dalam menangani minat baca. Selama ini upaya penumbuhan minat baca masih berjalam secara parsial oleh beberapa lembaga masyarakat. Keberadaan lembaga khusus ini akan menjadi pusat dalam menyinergikan, mengontrol, dan memperdayakan lembaga-lembaga yang konsen di dunia baca-tulis.


Dan akhirnya dapat dikatakan bahwa menciptakan masyarakat literasi memang membutuhkan proses panjang, sarana, dan iklim yang kondusif. Proses ini dimulai dari hal-hal kecil, sederhana yang dimulai dari lingkungan keluarga, lalu didukung atau dikembangkan di sekolah, lingkungan pergaulan, dan lingkungan negara. Perwujudan masyarakat literasi yang berbasis realitas kultural ini menjadi pelurus orientasi pendidikan yang berpacu pada proses bukan hasil. Jika kita berbicara soal proses maka semuanya butuh waktu. Dan waktu itu harus mulai saat ini dan kini (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendidikan Karakter: Bagaimanakah Peran Praksis Sekolah?

REKOLEKSI ala GEMADORA Kupang (Sebuah Catatan Kisah)

MADING SEKOLAH: Wadah Praktis dan Kreatif untuk Mengasah Kemampuan Menulis