Wajah-Wajah Pejuang: Sepenggal Kisah dari Ayoutupas
Sejenak saya ingat kembali momen ini.
Memang sudah lama terurai pergi dari memori ini. Hampir pergi begitu saja
ditelan pelbagai rutinitas kantor yang cukup
menyita waktu, menguras
energi dan pikiran. Tapi apapun rentetan kesibukan hal itu tak mampu menghapus
setiap pengalaman yang sudah membekas bahkan terkubur tanpa nama. Saya kembali mengupas
memori itu. Membuka kembali satu persatu catatan-catatan tua penuh romantika
edukatif yang tergores dalam lembaran-lembaran kusut buku hariannya saya. Memori
bersama crew MPC NTT dalam melanggengkan budaya literasi di sekolah-sekolah di
pedalaman propinsi NTT.
Kali ini memori saya menuntun saya
untuk mengkisahkan geliat literasi di salah satu sekolah di kabupaten Timor
Tengah Selatan tepatnya di Kecamatan Amanatun Utara. Salah satu kecamatan yang
mendedikasikan segala kearifan lokalnya untuk kabupaten yang terkenal dengan
keunikan dan kekhasan budaya Suku Botinya.
SoE dalam balutan kisah
SoE itulah nama ibu kota kabupatennya.
Bagi saya yang walaupun sudah dua tahun lebih menetap di tanah Timor, nama SoE masih
asing. Menurut catatan-catatan yang saya peroleh, alkisahnya nama So’E sendiri berasal
dari bahasa Timor (uab meto) yang berarti timbah atau menimbah. Ada satu versi
cerita yang mengkisahkan asal mula nama So’E. Kisahnya bermula dari patroli
seorang tentara kolonial yang bertemu dengan seorang perempuan pribumi yang
sedang menimbah air di mata air Oe Nakan yang kemudian disebut Oe Besi. Tentara
kolonial itu pun kemudian menanyakan apa nama tempat ini. Namun karena tidak
mengerti pertanyaan itu perempuan pribumi itu spontan saja menjawab dengan menggunakan bahasa Timor (uab meto), au soe eo yang berarti saya sedang menimbah air. Karena
ketidakjelasan pengungkapannya maka yang ditangkap oleh tentara kolonial itu hanya kata soe-nya. Nama SoE ini pun
akhirnya dikenal sebagai nama tempat itu sampai sekarang. Padahal tempat itu sebenarnya bernama Huemneo.
Ini sekadar pengantar singkat tentang
kota yang mendapat predikat sebagai kota dingin ini. Iya kisah yang masih prematur. Namun saya coba rangkaikan
kembali penggalan kisah yang menyelimuti momen-momen penuh arti saat itu sembari mengenang kembali waktu yang membingkainya. Ternyata kisah ini menyadarkan saya
bahwa baru pertama kali saya menginjakkan kaki di kota yang dijuluki "The
Freezing City" atau "Kota Membeku". Kota ini berjarak
110 km dari Kupang, atau sekitar 185 km dari Atambua. Tak ada aral melintang. Sepeda motor yang kami tumpangi
melaju kencang. Aroma jeruk yang mulai menusuk khas juga memberi kesan pertama perjalanan
kami. Indah. Unik. Hal ini tampak pada kekhasan rumah-rumah
adatnya yang berjejer di sepanjang
jalan. Keindahan kain-kain tenunnya yang membungkus kulit-kulit rentan yang menatap lugu dari pintu-pintu tua
beratapkan alang-alang. Yang tampak menawarkan
sebuah tontonan yang luar biasa. Mata
saya tak berkedip lama melihat semuanya itu walau semburan udara dingin mulai membercaki tatapanku.
Udara makin dingin. Malampun mulai melanggengkan dirinya. Waktu itu kira-kira jam 17.30 Wita. Mata pun mulai sayup-sayup menemani raga yang mulai terasa menggigil dan lelah. Hal ini wajar. Perjalanan yang kami tempuh cukup menyita waktu. Kurang lebih dua jam-an. Apalagi sepeda motor yang kami tumpangi harus beradu dengan jalan khas pulau Timor yang penuh kelokan dan tanjakan. Sesekali kami harus berhenti sejenak, memarkirkan motor dan menidurkan raga di pondok-pondok tua tak berdinding yang beratapkan daun lontar lusuh.
Udara makin dingin. Malampun mulai melanggengkan dirinya. Waktu itu kira-kira jam 17.30 Wita. Mata pun mulai sayup-sayup menemani raga yang mulai terasa menggigil dan lelah. Hal ini wajar. Perjalanan yang kami tempuh cukup menyita waktu. Kurang lebih dua jam-an. Apalagi sepeda motor yang kami tumpangi harus beradu dengan jalan khas pulau Timor yang penuh kelokan dan tanjakan. Sesekali kami harus berhenti sejenak, memarkirkan motor dan menidurkan raga di pondok-pondok tua tak berdinding yang beratapkan daun lontar lusuh.
Senjapun semakin menepi ke peraduan.
Malampun mulai menjemput sepi dalam remangnya tatapan rembulan. Kami pun harus
bergegas tuk melanjutkan perjalanan. Pelukan dingin makin mengerat kulit
sekujur raga. Sepertinya dinginnya alam SoE mau mencobai semangat perjalanan
kami yang sudah dipupuk sedari senja. Memang cukup kewalahan meladeni sapaan
alam seperti ini. Tapi apapun sikonnya tidak ada alasan bagi kami untuk tetap
menderukan semangat pengabdian ini. Sepanjang jalan untuk setengah menetralkan
kondisi raga, kami hanya menghembuskan nafas perut
sebagai pemanas raga. Tak ada kata yang sempat terlontar. Senyap mendominasi. Kami
masing-masing sibuk meredamkan dingin dengan cara yang khas dari pelukan malam yang
semakin pekat itu. Kami pun menyusuri malam sampai mendaratkan kaki di
"The Freezing City" itu. Di kota ini kami pun memutuskan untuk
melepaskan lelah disisa malam itu sekaligus mengambil energi baru tuk
melanjutkan perjalanan di esok harinya ke daerah Amanatun Utara.
Wajah-Wajah Pejuang
Masih pagi. Jam menunjukkan pukul
05.30. Sikonpun tetap sama. Dingin tetap menyengat. Kami pun segera bergegas.
Perjalanan masih puluhan kilo untuk mencapai sekolah yang hendak kami kunjungi.
Jalan yang masih beralaskan batu-batu lepas, berlobang-lobang lebar menjadi
tahap awal perkenalan kami dengan area itu. Syukur! Karena diperjalanan sisa
ini kami memutuskan menggunakan mobil. Mobil pun melaju setengah kencang. Di
hamparan jalan terlihat lalu-lalang anak-anak kampung menyusuri tanjakan-tanjakan
kecil. Di atas kepala atau bahu memikul satu-dua ember atau jeriken berisikan
air. Langkah mereka begitu lincah, bergegas. Mereka adalah anak-anak usia
sekolah. Kerikil-kerikil batu, akar-akar kayu tua yang menonjolkan raga,
melintang di tanjakan-tanjakan itu tak mempan menghalangi kelincahan langkah
mereka. Sesekali mereka berhenti sejenak, berpaling, mengulas senyum ketika
klakson mobil tumpangan kami mengagetkan langkah mereka. Senyum yang merekah
tulus menggugah simpati kami. Lambaian tangan pun kami berikan sebagai salam
hangat pada tumpahan senyum yang mengalir lugu dan penuh memesona itu. Mereka
kemudian mempercepat langkah lagi ketika kami berlalu pergi.
Selain itu, di pondok-pondok tua beratapkan alang-alang pada puncak bukit-bukit kecil mengebul tebal asap kayu bakar. Tampak ibu-ibu berselimutkan sarung tenun khas daerahnya keluar masuk pada pintu berukuran mini itu. Mereka kelihatan sibuk menanak nasi atau memasak hasil panen kebun sendiri sebagai sarapan pagi. Mungkin juga sarapan bagi anak-anak mereka yang hendak berangkat sekolah. Sedangkan bapak-bapak dengan pakaian apa adanya bercengkraman hangat di atas batu-batu tua yang tersusun rapi di tepian bukit. Mereka ditemani minuman pagi dan sebatang rokok yang menempel santun di mulut yang sudah berbalutkan sirih pinang. Mereka hanya berpaling sebentar ketika disentak klakson mobil yang sengaja dibunyikan. Terlihat secuil ulasan senyum ketika menatap mata kami yang melongoh kagum dibalik kaca pintu mobil. Sebuah fenomena klasik ala kampung yang sangat memesonakan mata. Walau sekilas, keakraban dan rasa persaudaraan terasa membelai kehadiran kami. Cukup dirasakan dalam diam karena semuanya hanya sebatas pandang.
Mobil yang kami tumpangan terus
melaju. Tak terasa kami telah sampai. Di papan kecil tertulis rapi, SMAN 1
Ayoutupas. Ternyata inilah sekolahnya. Sekolah ini
bertengger
indah diatas bekas gundukan tanah. Luar biasa. Dari luar kaca mobil terlihat
anak-anak dengan wajah ceria telah menunggu di halaman sekolah. Mereka duduk
berjejer rapi di hamparan halaman yang letaknya lebih tinggi. Mereka berseragam
putih-biru lengkap dengan atributnya. Suasana diri yang mereka tampakan
menandakan mereka sungguh mengharapkan kehadiran kami. Hal ini membuat rasa
penasaran mereka bergejolak. Siapakah mereka?
Semua mata mereka pun menatap satu arah ke tempat pemberhentian kami. Sedangkan di hamparan halaman yang lebih rata berbaris belasan anak berbusana tenunan daerah. Dibelakang mereka berdiri para orangtua dan puluhan guru. Merekapun terlihat sangat antusias, bangga tetapi juga penasaran. Kebanyakan para guru tidak berseragam “keki”. Ternyata kebanyakan dari mereka adalah guru-guru honor yang sudah bertahun-tahun mengabdi di sekolah ini. Pengabdian mereka memang sungguh luar biasa jika disandingkan dengan kesejahteraan mereka. Bandingkan saja guru-guru honor di kampung kita. Kondisinya mungkin sama. Kesejahteraan kadang berbanding terbalik dengan segala kerja keras dalam pengabdian yang telah mereka berikan. Itulah kenyataan. Namun pada momen ini situasinya tampak beda. Mereka terlihat melupakan keadaan itu. Mungkin semangat pengabdian yang terbentuk secara kompak di sekolah ini memberikan kekuatan yang berbeda. Mereka tulus mengabdikan diri untuk anak-anak kampung yang ingin maju. Mungkin juga untuk anak-anak dipersimpangan jalan tadi, yang dengan lincah mendaki tanjakan-tanjakan kecil dengan bahu dan kepala memikul ember atau jeriken yang berisikan air. Semuanya hanya karena pengabdian. Maka tak disangsikan mereka saat itu menawarkan aura wajah yang ceria. Semua kegembiraan itu menyatu ketika beberapa menit kemudian terdengar pekikan suara dan dentuman gong serta gendang menggelegar. Gadis-gadis remaja berbusana kain tenun indah yang sedari tadi berdiri di depan mereka mulai menghentakan kaki, meliuk-liukan badan bergerak seirama bersama dentuman gendang dan gong. Indah. Amazing. Tarian Likurai pun mendendangkan semangat itu. Semangat para pejuang pendidikan di pinggiran tanah Huemneo. Ayoutupas namanya. Terima kasih Ayotupas. Bangga. Di tempat inilah kami dipertemukan dengan wajah-wajah pengabdi dan pejuang pendidikan. Salam kompak selalu untuk generasi Ayoutupas yang lebih baik (*)
Semua mata mereka pun menatap satu arah ke tempat pemberhentian kami. Sedangkan di hamparan halaman yang lebih rata berbaris belasan anak berbusana tenunan daerah. Dibelakang mereka berdiri para orangtua dan puluhan guru. Merekapun terlihat sangat antusias, bangga tetapi juga penasaran. Kebanyakan para guru tidak berseragam “keki”. Ternyata kebanyakan dari mereka adalah guru-guru honor yang sudah bertahun-tahun mengabdi di sekolah ini. Pengabdian mereka memang sungguh luar biasa jika disandingkan dengan kesejahteraan mereka. Bandingkan saja guru-guru honor di kampung kita. Kondisinya mungkin sama. Kesejahteraan kadang berbanding terbalik dengan segala kerja keras dalam pengabdian yang telah mereka berikan. Itulah kenyataan. Namun pada momen ini situasinya tampak beda. Mereka terlihat melupakan keadaan itu. Mungkin semangat pengabdian yang terbentuk secara kompak di sekolah ini memberikan kekuatan yang berbeda. Mereka tulus mengabdikan diri untuk anak-anak kampung yang ingin maju. Mungkin juga untuk anak-anak dipersimpangan jalan tadi, yang dengan lincah mendaki tanjakan-tanjakan kecil dengan bahu dan kepala memikul ember atau jeriken yang berisikan air. Semuanya hanya karena pengabdian. Maka tak disangsikan mereka saat itu menawarkan aura wajah yang ceria. Semua kegembiraan itu menyatu ketika beberapa menit kemudian terdengar pekikan suara dan dentuman gong serta gendang menggelegar. Gadis-gadis remaja berbusana kain tenun indah yang sedari tadi berdiri di depan mereka mulai menghentakan kaki, meliuk-liukan badan bergerak seirama bersama dentuman gendang dan gong. Indah. Amazing. Tarian Likurai pun mendendangkan semangat itu. Semangat para pejuang pendidikan di pinggiran tanah Huemneo. Ayoutupas namanya. Terima kasih Ayotupas. Bangga. Di tempat inilah kami dipertemukan dengan wajah-wajah pengabdi dan pejuang pendidikan. Salam kompak selalu untuk generasi Ayoutupas yang lebih baik (*)
Mantap, menunggu kelanjutan kisah para pejuang literasi
BalasHapussiap. tangan lentur ini siap menggores
Hapus